>

Harmoni...

Jakarta, September 2010.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 30 Oktober 2012

UU Sistem Budidaya Tanaman Diskriminasi, Intimidasi dan Kriminalisasi Petani


Catatan Perkara Uji Materi UU PVT

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) sengaja memisahkan antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat UU SBT lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan. Selain itu, UU SBT telah mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman. Bahkan lebih lanjut negara membuat peraturan lain yang bersifat khusus tentang hak intelektual di bidang teknologi perbenihan, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), yang bersemangat sama dengan UU SBT yaitu mendiskriminasikan petani. Bukan hanya diskriminasi, seorang petani di Indramayu bernama Karsinah (pemohon), mendapat intimidasi dari aparat dinas pertanian setempat karena mempertahankan benih lokal dan melakukan persilangan tanaman dimana hal tesebut bertentangan dengan program pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih bersertifikat atau benih yang diproduksi perusahaan benih. Bahkan petani pemulia tanaman bernama Kunoto (pemohon) menjadi korban kriminlisasi sejak UU SBT diberlakukan. 
Demikian antara lain dalil permohonan uji materi perkara yang diregisterasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 99/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT. Permohonan uji materiil UU SBT ini diajukan oleh Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit watch, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Kunoto, Karsinah.
Menurut para Pemohon, UU SBT telah mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman. Penerapan UU ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.
Saat UU SBT disahkan, Pemerintahan Orde Baru sedang gencar melaksanakan revolusi hijau yaitu intensifikasi pertanian melalui pupuk kimiawi dan benih hasil industri yang meminggirkan pertanian ramah lingkungan yang menjamin keseimbangan ekosistem. UU SBT  telah dipergunakan untuk mengkriminalkan petani pemulia tanaman di Jawa Timur dan mendiskriminasikan petani pemulia tanaman Jawa Barat dan berpotensi terjadi kriminalisasi dan diskriminalisasi terdahap petani pemulia tanaman dibeberapa wilayah di Indonesia.
Padahal petani telah melakukan pemuliaan tanaman termasuk mengedarkannya secara turun temurun hingga kini dan tidak menimbulkan problem ekologi maupun hukum. Problem hukum justru terjadi sejak lahirnya UU SBT. Para petani telah melakukan proses pemuliaan tanaman dengan prosesnya antara lain pengumpulan,  penyimpanan, penyilangan, seleksi, perbanyakan dan penyebaran benih serta mempertahankan kemurnian jenis dan menghasilkan jenis varietas baru yang lebih baik seperti yang dibuat oleh petani di Indramayu yaitu jenis padi galur bongong, galur gading surya yang tahan terhadap wereng coklat.

Punahnya Varietas Lokal
Kini ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Hal ini akibat dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas “unggul” nasional dan hibrida. Padahal Indonesia kaya akan ribuan plasma nutfah padi lokal  seperti Kappor dari Madura, Anak Daro dari Sumatera Barat, Rojolele, Mentik Wangi, dan lain-lain yang berpotensi untuk dikembangkan.
Ratusan varietas jagung lokal (Jagung Kretek Madura, Jagung Metro Lampung, Jagung Pulut Sulawesi Selatan, Jagung Kodok Indramayu, dll) telah terancam hilang digantikan dengan jagung produksi perusahaan. Sampai saat ini produksi benih jagung perusahaan menguasai 90% pasaran. Akibat lainnya yaitu semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian (iklim, serangga, air, tanah) dan terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan biotik maupun abiotik yang disebabkan oleh semakin maraknya benih-benih perusahaan yang dilegitimasi oleh UU SBT.
Pasal 5 ayat (1) UU SBT menyatakan, “Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah: a) Menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional; b) Menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman; c) Mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan Kepentingan nasional; d) Menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat.” Kemudian Pasal 5 ayat (2) menyatakan, “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.”
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c menurut pemohon telah mengakibatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan perencanaan, penetapan wilayah, dan pengaturan produksi. Jika dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (2) UU SBT maka apa yang menjadi wewenang pemerintah tersebut menjadi kewajiban bagi petani. Akibatnya petani tidak bisa berkreasi dalam budidaya tanaman berdasarkan kebutuhannya. Padahal bagi petani, budidaya tanaman adalah persoalan hidup dan kehidupan yang dijamin oleh Pasal 28A UUD 1945. Akibat lainnya yaitu terjadi pertentangan antara kewenangan pemerintah dengan hak petani. Petani harus tunduk kepada perencanaan pemerintah, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum antara hak dan kewajiban petani. Jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak konstitusional sebagai mana telah diatur pada Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945. Selanjutnya mengenai penetapan wilayah dan pengaturan produksi oleh pemerintah yang kemudian menjadikan kewajiban petani, mengakibatkan petani tidak bisa menentukan jenis dan pola budidaya tanaman di tanahnya sendiri, yang merupakan hak milik pribadi yang dijamin perlindungannya oleh pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pasal 5 ayat (1) huruf d bertentangan dengan Pasal 28A, 28C ayat (2), 28F, 28I ayat (2) serta  Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Apa yang terjadi selama ini petani tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan, dan pengaturan produksi dan penetapan wilayah. Yang ada hanyalah forum sosialisasi yang berisi himbauan pemerintah. Bagi petani yang tidak menjalankan himbauan pemerintah tersebut dapat dikriminalisasi, didiskriminasi dan diintimidasi. Penelitian demi penelitian yang dilakukan pun dibiayai oleh negara dan pengusaha serta perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak didasarkan kebutuhan petani, dan tidak melibatkan petani secara aktif serta ketangguhan ekosistem. Pemerintah hanya mengejar kepentingan produksi yang tinggi, sehingga mengabaikan tujuan-tujuan lain di bidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem, dan kesejahteraan petani.
Pasal 6 menyatakan, “(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. (2) Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Para pemohon berpendapat Pasal 6 UU SBT bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan 28I ayat (3) UUD 1945. Bahkan terjadi pertentangan antarayat dalam Pasal UU SBT, yaitu ayat (1) dan (2). Pada ayat (1), petani mempunyai kebebasan tapi kebebasan tersebut dibatasi oleh ayat (2), bahkan lebih tepat dihalangi karena rencana pemerintah tersebut tidak melibatkan masyarakat dan tidak ada mekanisme pengajuan keberatan,  sehingga potensial melanggar  hak hidup rakyat tani yang berbudidaya tanaman sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut juga di satu sisi berpotensi menghilangkan kepemilikan pribadi petani atas lahan dan tanaman karena penggunaan dan pemanfaatannya ditentukan sepihak oleh pemerintah.
Pasal 9 menyatakan, “(1) Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (2) Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemerintah. (3) Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin. (4) Pemerintah melakukan pelestarian plasma nutfah bersama masyarakat.” Pasal 9 ayat (3) UU SBT sepanjang kata “Perorangan” menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28D ayat (1), 28I ayat (2), (3) dan Pasal 33 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sebab ketentuan di dalamnya membedakan antara pemulia tanaman dengan petani. Padahal sesungguhnya bagi petani kegiatan pemuliaan tanaman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Identitas pemulia tanaman menyatu dengan identitas sebagai petani. Ketidakkenalan UU SBT terhadap petani pemulia tanaman mengakibatkan petani pemulia tanaman harus dapat ijin untuk pencarian, pengumpulan plasma nutfah dan mengedarkan benih.
Pasal 12 menyatakan, “(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah. (2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.” Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU SBT bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28I (3) dan Pasal 33 (2) serta Pasal 33 (3) UUD 1945. Sebab dalam prakteknya pengetahuan mengenai pertukaran benih, persilangan, itu terjadi pada tataran komunitas dan dilakukan secara komunal. Varietas hasil pemuliaan petani tidak memerlukan persyaratan apapun dalam peredarannya di komunitas masing-masing. Fakta menunjukkan benih-benih bersertifikat dari pemerintah tidak memberikan jaminan mutu, jaminan tidak diserang hama, penyakit dan rakus pupuk serta pemisahan petani dengan aktifitas pemulia tanaman akan menghilangkan pengetahuan budidaya tanaman lokal dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak petani. Kemudian, agenda penelitian untuk menemukan benih-benih baru, tidak melibatkan petani sebagai subjek tanpa memperhitungkan kepentingan petani. Penelitian tersebut hanya bersumber pada bisnis semata.
Pasal 60 ayat (1) menyatakan, “Barangasiapa dengan sengaja: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);” Pasal 60 ayat (2) menyatakan, “Barang siapa karena kelalaiannya: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);”
Pasal 60 ayat (1)  huruf a dan Huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT bertentangan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebab, pemuliaan tanaman adalah hak asasi petani yang telah dipraktekan oleh petani secara turun temurun semenjak pertanian itu ada. Oleh karenanya melakukan pemidanaan terhadap pemuliaan tanaman oleh petani adalah pelanggaran Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itulah para pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat (3) sepanjang kata “perorangan”, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 25 Oktober 2012

Pesangon PHK Daluwarsa, Mantan Satpam Ujikan UU Ketenagakerjaan


Tujuh tahun Marten Boiliu menjalani profesi sebagai petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan. Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika perusahaan jasa pengamanan tempat dia bernaung, tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu dua tahun. Artinya, setelah melampaui masa dua tahun, tuntutan pembayaran upah pekerja dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja mengalami daluwarsa. Begitulah ketentuan Pasal dalam UU Ketenagakerjaan.

Marten Boiliu merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Selanjutnya, Marten mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tersebut. Permohonan Marten diregisterasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 pada 3 Oktober 2012.

Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Marten dalam permohonan berkisah ihwal profesi yang digelutinya, yaitu sebagai petugas Satpam di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM) yang bergerak di bidang penyedia jasa pengamanan. Tujuh tahun lebih ia mengabdi di PT SPM, yaitu sejak 15 Mei 2002. Pada  1 Juli 2009, Marten bersama 65 Satpam lainnya di-PHK oleh PT SPM berdasarkan Surat Keterangan PHK Nomor: 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009. Marten mengaku tidak menerima pembayaran apapun terkait berakhirnya hubungan kerja tersebut.

Pasca keluarnya SK PHK, Marten dan 65 temannya tidak memiliki kemampuan untuk menuntut pertanggungjawaban PT SPM mengenai hak-hak normatif atas PHK sebagaimana ketentuan Pasal 156 jo Pasal 163 UU Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan perasaan takut dan cemas akan resiko tidak dipekerjakan lagi saat PT SPM kembali memenangkan tender jasa pengamanan. Dua tahun pasca PHK berlalu, PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan perusahaan di mana Marten dan kawan-kawannya ditugaskan (PT Telkom).

Syahdan, tiga tahun pasca PHK berlalu, pada Juni 2012 Marten bersama 65 temannya melakukan perundingan bipartit dengan PT SPM. Perundingan bipartit gagal, sehingga perselisihan didaftarkan ke Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan untuk dimediasi. Namun, pihak PT SPM tidak pernah menghadiri mediasi. Marten dkk berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Gugatan Daluwarsa

Mengenai gugatan kadaluwarsa, Mahkamah Agung RI pernah mengeluarkan putusan Nomor 183 K/Pdt.Sus/2012 mengenai perselisihan hubungan industrial. MA dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan Kasasi Zaenal karena tuntutan pembayaran upah yang diajukan Zaenal telah melampaui waktu dua tahun sebagaimana ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) juga merugikan Marten dkk yang hendak mengajukan gugatan terhadap kasus yang sama kadaluwarsanya.

Marten mendalilkan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan cenderung lebih menguntungkan kepentingan pengusaha. Marten dkk merasa diperlakukan tidak adil karena hak untuk mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak menjadi melayang hilang ditelan masa daluwarsa.

Oleh karena itu, Marten dalam petitum meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Meminta Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 24 Oktober 2012

Irfan Syauqi Beik: Penghimpunan Zakat Nasional Baru Capai 0.8%


Penghimpunan zakat oleh seluruh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia pada tahun 2011, baru mencapai angka 1,73 triliun. Sedangkan potensinya adalah 217 triliun. “Artinya kemampuan penghimpunan ini baru mencapai angka 0,8% dari total potensi yang ada. Oleh karena itu kita perlu mendongkrak penghimpunan zakat ini sehingga diperlukan adanya kekuatan yang mampu melakukan intervensi.”
Demikian dikatan Irfan Syauqi Beik, saat didaulat sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/10/2012). Sidang kali kelima untuk perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini beragendakan mendengar keterangan saksi/ahli Pemohon dan Pemerintah.
Dari perspektif kebijakan negara, lanjut Irfan, instrumen zakat belum menjadi instrumen utama dan menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi negara karena posisi zakat belum kuat dari perspektif kebijakan publik. Hadirnya UU Nomor 23 Tahun 2011 semakin memperkuat peran negara. Negara mendapat “perintah” untuk turut membangun perzakatan nasional melalui upaya fasilitasi dan penguatan infrastruktur kelembagaan dan anggaran bagi pembangunan zakat nasional. Hal ini tentunya harus dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang akomodatif dan supportif. Berbeda halnya dengan UUPZ sebelumnya yaitu UU Nomor 38 Tahun 1999 yang tidak terlalu kuat memberikan tekanan dan perintah kepada negara. “Ketiadaan PP yang melaksanakan undang-undang yang lama menjadi bukti yang tidak terbantahkan,” dalil Irfan.
Pentingnya integrasi pengelolaan zakat dalam kebijakan Negara, telah dinyatakan oleh Abu Ubaid dalam kitabnya, “Al-AmwâlAbu Ubaid mengatakan bahwa zakat memiliki dua karakteristik. Pertama, karakter sebagai ibadah mahdhah yang berlaku final dan tidak bisa diganggu gugat. Kedua, karakter politik zakat. Karakter politik zakat menurut Abu Ubaid adalah bahwa zakat merupakan institusi keuangan publik yang peranannya sangat tergantung pada kondisi negara dan masyarakat.
“Kalau pemerintah punya political will yang baik, kondisi masyarakatnya juga baik, maka pengelolaan zakat juga akan baik. Demikian pula sebaliknya, akan tetapi Abu Ubaid juga menegaskan bahwa meskipun secara politik bisa naik dan turun, namun secara natural secara alami keterlibatan negara tetap tidak boleh diabaikan,” terang Irfan.
Tuan Guru H. Muharrar Mahfudz, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam kapasitasnya sebagai saksi pemohon, menerangkan pengalamannya dalam pelaksanaan ibadah zakat. Sebagai da’i yang sering mengisi pengajian di masyarakat, Muharrar sering menerima titipan zakat dari aghniyâ (orang-orang kaya). Hal serupa juga dialami para guru dan tokoh agama Islam lainnya. Mereka bukan amil, tetapi mereka adalah orang-orang yang dipercayakan oleh masyarakat untuk mendistribusikan zakat,” lanjutnya.
Muharrar juga berkisah tentang pengalamannya dalam pembangunan masjid dan pembangunan fisik lembaga pendidikan Islam di NTB. Setiap panen, ada taklimat (pengumuman) berisi permohonan dari takmir masjid kepada para petani untuk berzakat. “Kebetulan saat ini kami sedang membangun sebuah masjid yang pada saat-saat sudah persiapan pengecoran, sudah persiapan pembangunan, sudah sampai ke tingkat pelaksanaan, tetapi dana belum juga cukup, sehingga langkah (kami) mengimbau kalangan muzakki,” papar Muharrar.
Sementara itu, Anggota Dewan Petimbangan Badan Ambil Zakat (BAZ) Kota Balikpapan, Muhammad Jailani sebagai saksi dari Pemerintah memberikan keterangan berkaitan dengan pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh BAZ di Kota Balikpapan, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan UUPZ. Pada 28 Agustus 2004 diselenggarakan sarahsehan sehari untuk meningkatkan peran masjid dalam pengelolan zakat di Kota Balikpapan. Hasil sarahsehan menyepakati pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagai bagian dari BAZ di seluruh masjid di Kota Balikpapan.  “Khusus pada bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, seluruh penerima zakat harta diserahkan kepada BAZ Kota Balikpapan setelah 1/8 dikeluarkan untuk hak-hak Amil. Adapun zakat fitrah, infaq, dan shadaqah dapat langsung dikelola oleh masjid setempat,” terang Jailani.
Selanjutnya, pascalahirnya UU Nomor 23 Tahun 2011, berdasarkan hasil rapat BAZ Kota Balikpapan bersama Dewan Masjid di Kota Balikpapan, disepakati bahwa hasil infaq Jum’at di setiap masjid sebagian disisihkan untuk dikumpulkan kepada BAZ Kota Balikpapan dengan persentase yang berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan pengurus masjid masing-masing. Beberapa program tersebut, BAZ Kota Balikpapan membiayai atau menfasilitasi beberapa kegiatan di antaranya, membantu penyelenggaraan dakwah di masjid-masjid, memberikan insentif imam rawatib, bantuan renovasi masjid, insentif rutin kesejahteraan guru TK-TPA.
Untuk diketahui, pengujian konstitusionalitas materi UUPZ ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri. Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas).
Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.
Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 23 Oktober 2012

Mahkamah Tolak Pengujian Rangkap Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi



Pengujian konstitusionalitas kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa Undang-Undang, memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (23/10/2012) siang, menggelar sidang pengucapan putusan Nomor 16/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar.
Hal yang menjadi objek permohonan Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul adalah uji konstitusional pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa UU, antara lain Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan; Pasal 39 UU Tipikor; dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU KPK khususnya frasa “atau kejaksaan” serta frasa “dan/atau kejaksaan” dalam UU KPK. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas negara hukum [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945], pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Mahkamah berpendapat, UUD 1945 tidak melarang adanya fungsi ganda tersebut. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar” dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
“Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka Presiden selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), juga berfungsi sebagai pembentuk Undang-Undang (legislatif) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian UUD 1945 tidak melarang fungsi ganda tersebut,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga mengutip beberapa pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008 yang dalam paragraf [3.13.6] antara lain mempertimbangkan, “Dengan demikian kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi dari Undang-Undang,”. Kata “sesuai” dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya memungkinkan alat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Undang-Undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaan. Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undangundang”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon supaya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada kejaksaan dalam beberapa ketentuan tindak pidana khusus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum,” tandas Alim. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Dalil Permohonan Kontradiktif, Uji Materi KUHAP Tidak Diterima


Pengujian konstitusionalitas Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Dr. H. Idrus M.Kes dinilai kabur (obscuur libel) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena terjadinya pertentangan antar dalil dalam permohonan dan antar dalil dalam posita dengan petitum. Alhasil, dalam amar Putusan Nomor 71/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan Idrus tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, dalam sidang pengucapan putusan di MK, Selasa (23/10/2012) siang.
Idrus mengujikan ketentuan Pasal 244 KUHAP terkait dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk dapat tidaknya mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung yang selengkapnya berbunyi, “Terhadap putusan, perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Saat mengajukan permohonan ke MK pada 11 Juli 2012 lalu, Idrus sedang menunggu putusan dari Mahkamah Agung atas permintaan pemeriksaan kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negri Lubuk Sikaping tertanggal 9 Juli 2008, atas putusan Pengadilan Negri Lubuk Sikaping Nomor 55/Pid/2007/Pn.Lbs tanggal 19 Juni 2008.
Adapun permasalahan yang dihadapi Idrus yaitu pada tahun 2004 yang lalu, Pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan hibah kepada Kabupaten Pasaman berupa 100 ekor sapi untuk 100 kepala keluarga (KK) yang kurang mampu. Saat itu, Idus menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasaman, yang bertugas melakukan pembinaan terhadap kelompok KK miskin tersebut melalui jajaran di bawahnyaPada awal Tahun 2006, Idrus pindah tugas menjadi Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Pasaman. Suatu saat, Idrus menegur stafnya yang bernama Hayati, istri Kejari Lubuk Sikaping. Teguran ini rupanya memicu kasus perkara Idrus.
Pada akhir 2006 Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Sikaping melakukan pemanggilan kepada Idrus untuk penyelidikan tentang bantuan hibah pada Tahun 2004. Saat itu pula Idrus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di LP Lubuk Sikaping selama 7 bulan 10 hari. Selama dalam penahanan, Idrus dua kali diperiksa oleh Kejari Lubuk Sikaping dengan tuduhan menerima uang Rp 1.200.000 dari KUBE FM dan mendakwa Idrus telah menyebabkan kerugian negara sebanyak Rp 20.000.000.
Pada 2008 Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping membuat putusan bebas murni kepada Idrus dengan Putusan Nomor 55/Pid/2007/PN.Lbs Tanggal 19 Juni 2008, dengan alasan bantuan sapi tersebut adalah merupakan hibah, sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama antara Kementrian Sosial dengan Bupati Agam Nomor 53/HUK/2004. Kemudian pada tanggal 9 Juli 2008 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lubuk Sikaping mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) dengan dasar hukumnya Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor K/275/Pid/1983, yang bersumber dari Pasal 244 KUHAP, karena JPU beranggapan Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping adalah bebas tidak murni. Sampai saat ini, Idrus belum mendapatkan keputusan kasasi tersebut dari MA. Merasa diperlakuan diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum, Idrus lalu mengajukan pengujian Pasal 244 KUHAP ke MK.
Idrus dalam petitum permohonannya meminta dua pilihan kepada Mahkamah untuk memutus Pasal 244 KUHAP. Pertama memohon Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP bermakna. Maksudnya, Pasal 244 KUHAP dinyatakan tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, disertai dengan konsekuensi bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983 yang bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP menjadi tidak berlaku. Konsekuensi ikutan lain yaitu putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi berkekuatan hukum tetap.
Kedua, Idrus juga memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna, maksudnya menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap, dengan konsekuensi bahwa semua ketentuan yang berdasar pada ketentuan Pasal 244 KUHAP, salah satunya Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983, juga dinyatakan tidak bermakna, sehingga Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurut Mahkamah, terdapat pertentangan antar dalil-dalil dalam posita maupun antara posita dan petitum dalam permohonan Idrus. Di satu sisi Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna. Di sisi lain, Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP bermakna. Selain itu, apabila dalil dalam posita tersebut dikaitkan dengan petitum, maka antara dalil tersebut dan petitum juga bertentangan. Terlebih lagi Idrus memohon supaya Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
“Atas dasar pertentangan-pertentangan antar dalil-dalil dalam permohonan Pemohon dan antara dalil-dalil dalam posita dengan petitum, maka menurut Mahkamah, permohonan a quo kabur (obscuur libel). Oleh karena itu Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut tentang kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan poin Kewenangan Mahkamah dalam putusan ini. (Nur Rosihin Ana)

Download putusannyanya di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Senin, 22 Oktober 2012

Uji UU Parpol dan UU Pileg: Pemohon Minta Parpol Bersifat Lokal dan Nasional


Uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/10/2012) siang. Sidang kali kedua dengan agenda perbaikan permohonan untuk perkara yang diregistrasi Panitera MK dengan Nomor 94/PUU-X/2012, ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel) didampingi anggota panel Harjono dan M. Akil Mochtar.
Ketua Panel Hamdan Zoelva menyatakan telah menerima perbaikan permohonan pada 19 Oktober 2012. Hamdan melihat banyak hal yang diperbaiki dalam permohonan. Intinya, para pemohon meminta agar keberadaan parpol tidak hanya bersifat nasional, tapi juga dimungkinkan bersifat lokal.  
“Partai lokal ini batasnya hanya tingkat provinsi atau kabupaten dan kota, ini yang belum jelas. Yang Saudara (inginkan) ini hanya tingkat provinsi saja, atau dua-duanya?” tanya Hamdan Zoelva. “Dua-duanya, Majelis Hakim, setiap provinsi dan kabupaten.” jawab Iskandar Zulkarnaen, kuasa hukum para Pemohon.
Seharusnya, lanjut Iskandar Zurkarnaen, saat pendirikan parpol, dalam anggaran dasar disebutkan bersifat lokal tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi, serta bersifat nasional.
“Jadi, ada tiga kemungkinan ya, nasional, provinsi, kabupaten/kota,” tukas Hamdan.
Panel hakim akan melaporkan kepada pleno untuk menentukan apakah uji materi UU Parpol dan UU Pileg ini akan berlanjut pada sidang pleno dengan mengundang pihak pemerintah dan DPR. “Kalau menurut pleno hakim cukup sampai di sini, maka langsung akan menjatuhkan vonis. Itu sangat tergantung pada permusyawaratan hakim mengenai perkara ini,” terang Hamdan.
Sebelum menutup persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti. Para Pemohon mengajukan tujuh alat bukti, yaitu bukti P-1 sampai P-7 yang antara lain berupa UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU Pileg ini diajukan oleh Jamaludin dan Andriyani. Materi yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol); dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c dan d UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg).
Pasal 1 angka 1 UU Parpol menyatakan, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Jamaludin dan Andriyani merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena kepentingan politiknya terbatasi dengan syarat kepartaian yang bersifat nasional. Keduanya kehilangan hak untuk mendirikan partai politik (parpol) yang berbadan hukum dan berbasis masyarakat di daerah yang masing-masing mempunyai kekhususan.
Konstruksi Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pileg, telah menutup kemungkinan lahirnya partai politik yang hanya berada di satu provinsi atau di satu kabupaten/kota saja. Semestinya, UU Pileg membuka kemungkinan untuk menghadirkan parpol berskala lokal dengan tidak memaksakan persyaratan kepengurusannya secara nasional sebagai prasyarat mengikuti pemilu. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 18 Oktober 2012

Mahasiswa LPTK Perbaiki Uji Materi UU Guru dan Dosen



Peninjauan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) di persidangan Mahkamah Konstitusi memasuki tahap perbaikan permohonan, Jum’at (19/10/2012) pagi. Pada sidang kali kedua untuk perkara Nomor 95/PUU-X/2012 ini para pemohon melalui kuasanya, Muhammad Sholeh, memaparkan perbaikan permohonan berdasarkan nasihat majelis hakim pada persidangan pendahuluan dua pekan lalu.
Inti perbaikan meliputi dua hal. Pertama, para pemohon pada pokok permohonan lebih fokus mempersoalkan konstitusionalitas Pasal  9 UUGD khususnya frasa “Pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”. Sebelumnya, para pemohon mengujikan seluruh ketentuan Pasal 9 UUGD. “Kami konsentrasi bahwa yang menjadi pokok permohonan kita adalah frasa kata ‘pendidikan tinggi program sarjana atau pendidikan diploma empat’ karena itu yang menjadi inti pokok dari pasal yang kami persoalkan,” kata Muhammad Soleh.
Kedua, perbaikan petitum permohonan. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, meminta Mahkamah memberikan makna khusus pada Pasal 9 UU GD. “Kami sebagai pemohon menginginkan Pasal 9 ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi kami (juga) ingin ada pemaknaan khusus sebagai yang dinyatakan dengan seorang guru harus mempunyai kualifikasi sarjana kependidikan atau program diploma empat Kependidikan,” pungkas Soleh.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim selaku ketua panel, sebelum mengakhiri persidangan, mengesahkan alat bukti pemohon. Alat bukti pemohon berupa buku saku UUD 1945, UUGD, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2012, dan fotokopi KTP para pemohon.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 9 UUGD ini dimohonkan oleh 7 orang mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto. Pasal 9 UUGD menyatakan: “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat.”
Para pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 9 UUGD. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah para pemohon harus bersaing dengan para sarjana non-kependidikan yang tidak menempuh kuliah di LPTK dimana terdapat beberapa mata kuliah belum pernah diajarkan di universitas non-kependidikan.
Para pemohon mendalilkan profesi guru merupakan bidang khusus sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Keahlian khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non-LPTK. Pasal 9 UUGD tidak memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada Para Pemohon sebab tidak memberikan jaminan bagi lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa masuk dalam pendidikan profesi guru. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES



Tiada Bukti, Mahkamah Tolak Permohonan Pasangan Cabup Halmahera Tengah Edi Langkara-Yuslan Idris


Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara Tahun 2012 yang diajukan oleh pasangan Edi Langkara-Yuslan Idris (Edi-Yus) berbuah penolakan di persidangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam dalam sidang yang digelar pada Kamis, (18/10/2012) siang, menyatakan menolak seluruh permohonan pasangan Edi-Yus. Mahkamah juga menolak eksepsi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Halteng selaku termohon, dan menolak eksepsi pasangan M. Al Yasin Ali-Soksi Hi. Ahmad (Acim-Soksi) selaku pihak terkait.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, saat sidang pengucapan putusan Nomor 67/PHPU.D-X/2012.
KPU Halteng dan pasangan Acim-Soksi dalam eksepsinya menyatakan permohonan Edi-Yus tidak berkait dengan sengketa hasil penghitungan suara sehingga permohonan Edi-Yus kabur. Acim-Soksi juga menilai permohonan Edi-Yus salah objek (error in objecto). Sebaliknya, menurut Mahkamah, eksepsi tersebut tidak beralasan hukum. “Menurut Mahkamah, objek permohonan Pemohon pada esensinya adalah keberatan terhadap Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pasangan Calon Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012 tanggal 25 September 2012 sehingga eksepsi a quo menurut Mahkamah adalah tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah dalam putusan ini.
Sementara itu, mengenai pokok permohonan, pasangan Edi-Yus mendalilkan terjadinya pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sehingga mempengaruhi hasil perolehan suara, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Halteng pada tahapan pemilihan anggota PPK dan PPS di seluruh wilayah Kab. Halteng dengan mengangkat pendukung Acim-Soksi.
Terhadap dalil tersebut, KPU Halteng mengemukakan bahwa pengumuman seleksi anggota PPK dan PPS dilaksanakan sesuai prosedur dan tidak diarahkan. Selain itu, pengumuman seleksi telah ditempelkan di tempat-tempat umum yang dapat diketahui masyarakat.
Mahkamah berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa seleksi PPS dan PPK tersebut hanya ditujukan bagi para pendukung Acim-Soksi. “Kalau pun benar ada anggota PPS dan PPK yang nampak mendukung salah satu pasangan calon tertentu, dalam hal ini Pihak Terkait (pasangan Acim-Soksi), tidak terbukti hal itu terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif. Sebagaimana terungkap dalam persidangan bahwa gejala keberpihakan anggota PPS dan PPK tidak saja kepada Pihak Terkait tetapi juga kepada Pemohon. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” lanjut Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Kemudian dalil Edi-Yus mengenai adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dan fiktif yang tersebar pada delapan kecamatan se-Kabupaten Halmahera Tengah. Terhadap hal ini, KPU Halteng mememaprkan proses pendataan dan pemutakhiran data dilakukan sejak tahun 2011 hingga akhir tahun 2011, dari jumlah penduduk sebanyak 48.693 jiwa. Selanjutnya pada 20 April 2012 dikeluarkan DP-4 sejumlah 30.403 pemilih kemudian diserahkan ke KPU. Setelah diserahkan ke KPU, DP-4 tersebut diproses menjadi DPS dan terdapat penambahan sehingga DPS berjumlah 32.033 pemilih. Setelah itu ditetapkan menjadi DPT sejumlah 32.761 pemilih. Penambahan data pemilih terjadi ketika penetapan DPT di tingkat PPS pada tanggal 18-19 Juni 2012 dan hampir sebagian besar disetujui oleh saksi dari kedua pasangan calon. Pada saat penetapan DPT tanggal 4 Agustus 2012, keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus mengenai lima warga Desa Wedana yang belum masuk dalam daftar pemilih sementara diakomodasi oleh KPU Halteng dan dimasukkan ke dalam DPS. Begitu juga mengenai keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus terkait 25 orang warga Desa Fidi Jaya yang dianggap fiktif dan ganda telah diverifikasi dan hasilnya tidak ada pemilih ganda dan fiktif.
Mahkamah berpendapat bahwa sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, bahwa dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, penyusunan daftar pemilih sebenarnya bukan saja merupakan kewajiban KPU Halteng semata, melainkan juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyediakan data kependudukan yang benar serta peran Panwaslukada dalam mengawasi tahapan penyelenggaraan penyusunan daftar pemilih agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi KPU pada umumnya, KPU Halteng pada khususnya untuk terus menerus mengabaikan dan menyederhanakan persoalan DPT (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009, bertanggal 12 Agustus 2009).
Dalam permasalahan DPT ini, Mahkamah menilai tidak terdapat bukti mengenai berapa jumlah riil penambahan ataupun pengurangan suara secara tidak sah yang terjadi di lapangan. Lagipula, seandainya pun pasangan Edi-Yus dapat membuktikan jumlah riil adanya penambahan ataupun pengurangan jumlah suara dalam Pemilukada Kab. Halteng, tidak ada bukti yang dapat memastikan kepada pasangan calon tertentu pergeseran jumlah suara baik berupa penambahan ataupun pengurangan tersebut telah terjadi. Sebab selain dapat menambah atau mengurangi jumlah suara Pemohon, dapat pula para calon pemilih yang dianggap memiliki DPT bermasalah tersebut justru tidak memberikan suaranya sama sekali kepada Pasangan Calon manapun. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil pasangan Edi-Yus ini juga tidak terbukti secara hukum.
Begitu pula dalil pasangan Edi-Yus mengenai adanya pelanggaran-pelanggaran lainnya, menurut Mahkamah, tidak dibuktikan dengan bukti yang cukup meyakinkan bahwa pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara pasangan Edi-Yus sehingga melampaui perolehan suara pasangan Acim-Soksi. “Mahkamah berpendapat Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum permohonannya,” tandas Muhammad Alim. (Nur Rosihin Ana).


Putusan Pemilukada Halmahera Tengah bisa didownload di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 17 Oktober 2012

Yusuf Wibisono: Proses Amandemen UU Pengelolaan Zakat Alami Cacat

Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat sipil adalah pelopor sekaligus merupakan tulang punggung (back bone) dari zakat nasional modern Indonesia. Fakta historis menunjukkan, dalam tiga dekade terakhir kebangkitan zakat nasional dipelopori oleh masyarakat sipil.
UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat secara umum berdampak positif terhadap pengelolaan zakat yang pada saat itu didominasi oleh masyarakat sipil yaitu LAZ. Dalam Pasal 8 UU 38/1999 peran BAZ bentukan pemerintah dan LAZ bentukan masyarakat sipil mendapatkan posisi yang sejajar, setara. Tata kelola zakat yang baik sudah diperkenalkan dalam UU 38/1999.
Kelemahan UU Nomor 38 Tahun 1999 adalah tidak mengamanatkan pembentukan regulator yang akan mengeksekusi hal-hal yang sudah positif di dalam UU tersebut. Jadi ketika UU 38/1999 diamandemen melalui UU Nomor 23 Tahun 2011 niatnya adalah baik. Namun ada beberapa hal yang kurang tepat terkait dengan proses amandemen. ”Kami memandang proses amandemen Undang-Undang 38 Tahun 1999 ini dalam tanda petik kami sebut ‘cacat secara proses’.”
Pernyataan tersebut disampaikan Yusuf Wibisono dalam kapasitasnya sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (17/10/2012). Sidang kali keempat untuk perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, ahli dan saksi.
“Cacat secara proses” yang dimaksud Yusuf Wibisono yaitu amandemen UU 38/1999 sudah dimulai di DPR pada periode 2004-2009. Pada tahun 1999 UU 38/1999 sudah masuk di RUU Prioritas Tahun 1999 tapi gagal diselesaikan. Sejak awal proses amandemen, ada dua draft yang secara umum bertolak belakang, yaitu draft RUU dari masyarakat sipil dan draft RUU dari pemerintah. “Karena itu pembahasannya alot, panjang, dan gagal diselesaikan oleh DPR 2004-2009 dan kemudian undang-undang ini di-takeover oleh DPR 2009-2014 menjadi RUU Inisiatif DPR,” terang Yusuf. 
Pada awal Maret 2010 DPR menyelesaikan RUU Pengelolaan Zakat. RUU yang dibuat oleh DPR cenderung mengakomodir masyarakat sipil. Kemudian RUU diajukan ke pemerintah untuk dimintakan DIM (Daftar Isian Masalah). DIM dari pemerintah baru muncul di awal tahun 2011. “DIM Pemerintah ini ternyata isinya sangat berbeda sekali dengan draft dari DPR. Bisa dikatakan itu bukan DIM sebenarnya, tapi draft tandingan karena kalau DIM pada umumnya mengomentari atau memperbaiki draft yang sudah ada. jadi sangat bertolak belakang,” lanjutnya.
Dua draft yang bertolak belakang inilah yang kemudian dibahas di DPR pada pertengahan 2011. Masa sidang keempat DPR pada pertengahan 2011 berlangsung singkat, yakni tiga bulan, dan diketok palu pada Oktober 2011. “Itu sepenuhnya 100% adalah draf dari pemerintah, draf dari DPR sepenuhnya hilang. Jadi, kami bisa katakan ini ada sesuatu yang janggal. Kami melihat ada sesuatu yang janggal dalam proses pembentukan, dalam proses Amandemen Undang-Undang Nomor 38 ini. Itulah kenapa kemudian saya bisa sangat bisa memahami, kenapa kemudian ada upaya untuk mengajukan judicial review ini. Jadi, bisa saya katakan judicial review ini seharusnya tidak hanya uji materiil, tapi juga bisa uji formal,” beber Yusuf.
Rezim baru pengelolaan zakat nasional berdasarkan UU 23/2011 mengalami lemah bawaan karena tidak adanya perbaikan kelemahan pada UU 38/1999, yaitu tidak adanya regulator yang kuat dan kredibel sehingga tata kelola zakat menjadi tetap tidak jelas. Operator zakat yang terdiri dari BAZ (bentukan pemerintah) dan LAZ (bentukan masyarakat sipil) seharusnya dikelola, diregulasi, dan diberikan pengawasan sehingga tidak ada penyalahgunaan dana umat. Sebaliknya, BAZ dan LAZ justru tidak mendapatkan posisi yang tepat dalam UU 23/2011Dalam UU 23/2011 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mempunyai kewenangan sebagai regulator sekaligus menjadi operator. BAZNAS  tetap menjalankan fungsi sebagai operator sebagaimana halnya LAZ, yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan dana zakat. Tetapi dia juga diberikan kewenangan menjadi regulator, yaitu membuat perencanaan, kemudian membuat regulasi, dan sekaligus mengawasi LAZ dan BAZNAS di bawahnya. “Ini menurut kami hal yang kurang tepat,” kritik Yusuf.

Sentralisasi Pengelolaan Zakat
Salah satu ketentuan dalam UU 23/2011 merupakan upaya penggiringan ke arah sentralisasi. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh Pasal 6 UU 23/2011 yang menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.” Ketentuan ini secara mendasar mengubah ketentuan Pasal 8 UU 38/1999 yang menyatakan: “Badan amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.” Ketentuan Pasal UU 38/1999 memberi wewenang pengelolaan zakat nasional kepada BAZ dan LAZ. Namun Pada Pasal 6 UU 23/2011, wewenang LAZ dihapus sehingga hanya BAZNAS yang berwenang melakukan pengelolaan zakat. Itu jelas-jelas merupakan sentralisasi,” dalil Yusuf.
Terjadi perbedaan yang sangat signifikan bahwa yang berwenang adalah BAZNAS dan masyarakat sipil hanya sekadar membantu. Dengan paradigma ini maka UU 23/2011 memperlakukan LAZ sangat diskriminatif karena untuk menjadi LAZ memerlukan perizinan yang sangat ketat. Pasal 18 UU 23/2011 berisi ketentuan yang potensial mematikan eksistensi LAZ, karena LAZ harus berbentuk organisasi massa (ormas)Padahal seluruh LAZ saat ini berbentuk yayasan dan tidak ada yang berbentuk ormas. Jadi, dalam konteks zakat nasional kontemporer, ketentuan ini ahistoris. Ketentuan pasal ini jelas bertujuan mematikan LAZSangat sulit membayangkan bagaimana nanti LAZ yang berbentuk yayasan harus bertransformasi menjadi ormas. Mengapa harus berbentuk ormasapa rasionalisasi ekonominya? Padahal pengelolaan zakat yang terpenting adalah trustTrust dari masyarakat dan kemudian mereka memiliki kapasitas untuk mengelola zakat secara baik, memiliki manajemen yang modern.
UU ini secara umum menghalangi hak dari LAZ yang dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya da­lam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk memba­ngun masyarakat, bangsa, dan negaranya.­­” UU ini mensterilisasi kewenangan zakat nasional sepenuhnya di tangan BAZNAS dan memarginalisasi LAZ.
Kemudian LAZ-LAZ yang sekarang sudah berdiri tetap diakui oleh UU. Tetapi di pasal transisi disebutkan setelah lima tahun harus menyesuaikan diri dengan UU yang baru. Artinya mereka harus mengikuti ketentuan yang sangat ketat dalam Pasal 18, sehingga seluruh LAZ yang ada sekarang berpotensi untuk dilemahkan oleh UU ini. Terlebih lagi LAZ-LAZ yang sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebelum UU ini berlaku karena secara informal Kementerian Agama tidak melakukan pengurusan dan pengukuhan LAZ-LAZ baru itu sejak proses amandemen UU 38/1999Jadi, banyak sekali LAZ-LAZ yang tidak memiliki izin operasional sampai sekarang, ungkap Yusuf.
UU 23/2011 potensial bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dengan logika sentralisasi bahwa yang berwenang adalah BAZNAS dan masyarakat sipil tidak berwenang, maka kemudian BAZNAS mendapatkan perlakuan yang istimewa dalam UU ini. Pendirian BAZNAS tidak ada persyaratan, sementara syarat pendirian LAZ sangat ketat luar biasa sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU 23/2011Bahkan pendirian BAZNAS merupakan amanat UU. Walaupun dalam UU ini disebutkan secara eksplisit BAZNAS adalah lembaga nonstruktural, tapi dalam UU disebutkan BAZNAS mengikuti struktur pemerintahan di pusat, provinsi, kabupaten/kota.
Menurut Yusuf Wibisono, hal terpenting dalam zakat nasional saat ini adalahpertama,  perbaikan tata kelola yaitu dengan mendirikan regulator yang kuat dan kredibel. BAZNAS sebagai regulator melepaskan posisinya sebagai operator sehingga tidak ada lagi conflict of interest. Seharusnya posisi BAZ dan LAZ tetap sejajar, tidak ada hegemoni dari salah satu pihak.
Kedua, jumlah BAZNAS dan LAZ saat ini itu sangat besar, sehingga diperlukan penaturan termasuk persayaratan pendiriannya. Seharusnya persyaratan dalam Pasal 18 UU 23/2011 diterapkan sama, baik untuk BAZ maupun untuk LAZ.
Ketiga, yang tak juga kalah pentingnya dalam reformasi zakat ke depan yaitu pemerintah mengikutsertakan lembaga-lembaga zakat yang kredibel dalam proses penanggulangan kemiskinan. Saat ini pemerintah dan gerakan masyarakat sipil berjalan sendiri-sendiri dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Untuk diketahui, pengujian materi UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri. Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 1985, yang disebut sebagai ormas adalah entitas yang berbasis keanggotaan. Padahal yayasan tidak memiliki anggota.
UUPZ menetapkan BAZNAS sebagai operator zakat nasional dan status tersebut juga sama dengan LAZ, sehingga ketentuan tersebut jelas menimbulkan conflict of interest dan tidak memberikan kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.

Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES