>

Harmoni...

Jakarta, September 2010.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 25 April 2011

Pemerintah: UU Parpol Mewujudkan Multi-Partai Sederhana

Jakarta, MKOnline – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dibuat agar menjamin adanya kepastian hukum. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol Tahun 2011 mewajibkan parpol yang telah berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian. Salah satu bentuk penyesuaiannya adalah seluruh parpol yang telah berbadan hukum, yang saat ini berjumlah 74, melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM. ”Jika tidak terdapat ketentuan tersebut, maka kehendak mewujudkan multi-partai sederhana di Indonesia sebagaimana diinginkan oleh pembentuk Undang-Undang, yang juga telah sejalan dengan beberapa putusan MK yang terkait dengan electoral threshold maupun parlementary threshold, niscaya akan sulit dapat diwujudkan.”
Pendapat disampaikan oleh Made Suwandi saat didaulat oleh Pemerintah untuk menjadi Ahli dalam persidangan di MK mengenai uji materi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Senin (25/4/2011) bertempat di ruang Sidang Pleno gedung MK.
Permohonan perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 15/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh parpol-parpol gurem yang tidak punya wakil di DPR. Mereka di antaranya: 1. PPD; 2. PBB; 3. PDS; 4. PKPI; 5. PDP; 6. PPPI ; 7. Partai Patriot; 8. PNBKI ; 9. PPI; 10. PMB; 11. Partai Pelopor 12. PKDI; 13. Partai Indonesia Baru; 14. PPDI; 15. PKPB; 17. PSI; dan 18. Partai Merdeka. Sedangkan perkara Nomor 18/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Choirul Anam dan Tohadi yang berasal dari PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) yang mewajibkan partai politik yang telah berbadan hukum untuk ikut verifikasi ulang, telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.Persidangan mengagendakan mendengar keterangan Ahli dari Pemerintah dan Ahli dari Pemohon. Pemerintah menghadirkan seorang Ahli, Made Suwandi, sedangkan Pemohon (perkara Nomor 18/PUU-IX/2011) menghadirkan 3 orang Ahli, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Fajrul Falaakh dan Robertus.
Made Suwandi dalam paparannya menyatakan, UU Parpol Tahun 2011 menegaskan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Selain itu, parpol harus mempunyai kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten kota pada provinsi yang bersangkutan, dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten kota yang bersangkutan. “Dengan demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 333 kabupaten/kota, dan 3311 kecamatan,” papar Made Suwandi.
Selain itu, menurut Pemerintah, ketentuan tersebut tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau melanjutkan keberadaan parpol yang telah berbadan hukum tersebut sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Ketentuan tersebut juga merupakan perwujudan yang sama dan setara, e qual treatment, baik bagi parpol lama yang telah berbadan hukum maupun parpol baru yang belum berbadan hukum. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Karenanya pula, tidak merugikan hak dan atau kewenangan konstitusional para pemohon. Juga, menurut pemerintah, ketentuan tersebut  telah jelas dan tidak bersifat multitafsir, karenanya tidak perlu dinyatakan sebagai ketentuan yang bersifat conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut, Pemerintah memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon  tidak dapat diterima,” pinta Ahli dari Pemerintah, Made Suwandi.

Ketidakjelasan Arti dan Filosofi
 
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra yang didaulat sebagai Ahli Pemohon, dalam paparannya menyatakan, ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol yang tengah diujikan, mengandung ketidakjelasan arti dan filosofi dalam perumusannya. Yusril mempertanyakan maksud kata-kata “tetap diakui keberadaannya” dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol. “Apakah maksud keberadaannya? Keberadaan de jure sebagai sebuah rechtpersoon atau keberadaan de facto?” tanya Yusril.
Kemudian, ketidakjelasan itu juga nampak dalam ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) b yang menyatakan, “Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014.” Undang-undang ini, lanjutnya, secara implisit membubarkan partai politik di luar apa yang diatur oleh konstitusi dan melampaui kewenangan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk membubarkan sebuah partai politik.
“Saya kira, tidak ada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membubarkan, mengeliminir keberadaan partai politik melalui undang-undang yang diberikan kewenangan kepada mereka untuk membuatnya,” tandas Yusril.
Sedangkan Fajrul Falaakh, dalam paparannya menyatakan, UU Parpol 2011 menerapkan standar ganda yang tidak memberikan kepastian hukum mengenai pengakuan terhadap eksistensi para Pemohon. Dengan kata lain, kepada Pemohon dikenakan syarat verifikasi yang berbeda dari UU Parpol 2008 dan UU Pemilu 2008 yang pada dasarnya sudah meloloskan para Pemohon sebagai peserta Pemilu 2009. “Karena penerapan standar ganda inilah, maka lalu saya setuju dengan pendapat para Pemohon yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang diujikan bersifat diskriminatif,” paparnya.
Menurut Fajrul, verifikasi oleh pemerintah yang mengakibatkan Parpol kehilangan hak menjadi peserta Pemilu berikutnya, bukan hanya membohongi pengakuan akan eksistensi parpol yang bersangkutan, melainkan juga mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemilu dengan parpol sebagai pesertanya. “Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 22E Ayat (5), di dalam demokratis rechtstaat seharusnya eksistensi parpol diputuskan sendiri oleh rakyat, termasuk mengenai jumlah parpol yang dipandang pantas mewakili kemajemukan masyarakat itu,” tandas Ahli dari Pemohon, Fajrul Falaakh. (Nur Rosihin Ana/mh)

Selasa, 12 April 2011

Sudin-Kurniadi Minta Ditetapkan Sebagai Pasangan Cabup Sambas

Jakarta, MKOnline – Pasangan bakal calon (balon) bupati Sambas, H. M. Sudin Asrin-Kurniadi hadir di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (12/4/2011) untuk menjalani sidang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Sambas. Pasangan calon dari jalur perseorangan ini menggugat Surat Keputusan KPU nomor 7 tahun 2011 yang meloloskan lima balon untuk menjadi calon. Persidangan pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 39/PHPU.D-IX/2011 ini dihadiri oleh Pemohon pasangan Sudin-Kurniadi dan Pihak Terkait KPU Kab. Sambas dengan didampingi kuasanya.

Di hadapan Panel Hakim MK, pasangan Sudin-Kurniadi mengklaim mendapatkan syarat dukungan untuk menjadi calon dari jalur perseorangan sejumlah 50.000 suara. Namun jumlah dukungan suara yang diakui KPU Sambas hanya sebanyak 16.302.

“Kami merasa ada sesuatu yang tidak pas. Contoh di Subah, kami sudah cek di lapangan, itu ada suara kami. Ternyata di KPU kosong. Beberapa desa lain juga kosong. Termasuk di desa kelahiran saya sendiri yang sekarang sudah dimekarkan, yaitu di Gapura itu juga kosong,” kata Sudin Asrin mendalilkan.
Selain itu, pasangan ini juga mendalilkan belum dilantiknya Panwascam saat tahapan verifikasi bakal calon untuk menjadi calon. “Pada waktu verifikasi, Panwaslu kecamatan belum dilantik. Setelah selesai verifikasi, baru dilantik,” lanjut Sudin.

Dalam permohonannya, Sudin-Kurniadi meminta (Petitum) Mahkamah agar membatalkan berita acara rekapitulasi daftar dukungan tambahan bakal calon perseorangan bupati dan wakil bupati Sambas Tahun 2011. Sudin-Kurniadi juga meminta Mahkamah membatalkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Sambas Tingkat Kabupaten. Kemudian, membatalkan Keputusan KPU Sambas Nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati terpilih dalam Pemilukada Sambas Tahun 2011.

Selain itu, Sudin-Kurniadi juga meminta Mahkamah menetapkan jumlah perolehan dukungan suaranya yang benar untuk pasangan ini, yaitu minimal 30.000 suara dukungan yang dianggap sah, sehingga dinyatakan memenuhi syarat. Terakhir, menetapkan pasangan ini sebagai calon pasangan perseorangan.    “Menetapkan pula sebagai calon pasangan perseorangan bupati dan calon perseorangan wakil bupati Sambas tahun 2011,” tandas Sudin.

Sementara itu, Termohon KPU Sambas melalui kuasa hukumnya, Nazirin, dalam eksepsinya KPU Sambas menyatakan Permohonan Sudin-Asrin kabur dan bukan kewenangan MK. Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas kesalahan hasil pengitungan suara yang telah ditetapkan oleh Termohon dan tidak mengajukan petitum atau permintaan untuk menetapkan hasil penghitungan yang benar.

“Error in objecto karena maksud dan subtansi permohonan sesunguhnya mengenai verifikasi faktual terhadap dukungan Pemohon. Sehingga bukan perkara yang bisa diajukan ke Mahkamah,” tandas Nazirin.

Sedangkan dalam pokok perkara, KPU Sambas menyatakan pasangan Sudin-Kurniadi tidak lolos verifikasi karena syarat jumlah dukungan tidak terpenuhi. Berdasarkan SK KPU nomor 34 tahun 2010, syarat minimal dukungan bagi balon perseorangan sebanyak 21.844 suara. “Pemohon tidak memenuhi batas minimal 21.844,” tandas Nazirin.

Sebelum mengakhiri persidangan, Panel Hakim menyarankan Pemohon dan Termohon untuk menyiapkan saksi-saksi. Pemohon mengajukan 1 orang saksi, sedangkan Termohon 2 orang. Saksi-saksi tersebut akan diminta keterangannya pada persidangan lanjutan yang akan digelar Rabu besok. (Nur Rosihin Ana/mh)

Senin, 11 April 2011

Pemohon Uji Materi UU BPHTB Mangkir di Persidangan

Jakarta, MKOnline – Tanpa alasan jelas, Fahri Alamudie mangkir di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar pada Senin (11/4/2011). Persidangan yang rencananya digelar pukul 13.00 WIB ini sempat tertunda karena Pemohon belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran di MK. Selanjutnya, Panel Hakim membuka persidangan pukul 13:24 WIB. Namun, karena Pemohon tidak juga hadir di persidangan dengan agenda pemeriksaaan perbaikan permohonan, akhirnya Panel Hakim terpaksa menutup persidangan pada pukul 13:26 WIB.
“Oleh karena Pemohon untuk perkara nomor 22/PUU-IX/2011 tidak hadir, maka sidang saya nyatakan ditutup,” kata Ketua Panel Achmad Sodiki seraya mengetok palu sidang sebanyak tiga kali pertanda persidangan ditutup.
Sebagaimana persidangan pendahuluan, (18/3), Mahkamah memeriksa uji materi konstitusionalitas materi UU 20/2000 tentang Perubahan Atas UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan  (BPHTB) yang diajukan oleh Fahri Alamudie.
Fahri yang kala itu hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum, mengadukan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 ayat (2) huruf  b UU BPHTB yang menyatakan: “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: b. pemberian hak baru karena: 1. kelanjutan pelepasan hak; 2. di luar pelepasan hak.” Ketentuan tersebut menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Fahri mendalilkan membeli sebidang tanah. Saat jual-beli dia sudah dikenakan pajak. Namun, saat pemberian hak baru, dia dikenakan pajak lagi. Menurutnya, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam pemberian hak baru tidak dapat dibenarkan karena pemberian hak baru bukanlah suatu peristiwa hukum seperti yang diatur dalam UU 20/2000. Sehingga menurutnya, pemberian hak baru kepada pemilik lahan/tanah dan bangunan adalah kewajiban pemerintah karena pemerintah memperoleh pendapatan setiap tahun dari pajak tanah/lahan tersebut, yaitu berupa pajak bumi dan bangunan. (Nur Rosihin Ana/mh)



Jumat, 08 April 2011

Saksi Pemohon: Tim Mekar Minta Pemungutan Suara Kab. Supiori Putaran II Diundur

Jakarta, MKOnline – Sidang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Supiori putaran dua kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (8/4/2011). Hadir di persidangan, Pemohon pasangan Julianus Mnusefer-Theodorus Kawer (Mekar) didampingi kuasa hukumnya, Ketua KPU Kab. Supiori Alberth Rumbekwan didampingi kuasanya, dan Pihak Terkait pasangan Fredrik Menufandu-Yan Imbab dan kuasanya.

Sidang untuk perkara nomor 34/PHPU.D-IX/2011 ini beragendakan pembuktian dengan mendengar keterangan saksi-saksi. Saksi Pemohon bernama Yohanes Akobiarek menerangkan mengenai agenda rapat pada 1 Maret 2011 yang bertempat di kantor KPU Kab. Supiori. Rapat tersebut, kata Yohanes, dihadiri oleh KPU Supiori, Muspida dan kedua pasangan beserta koalisi kandidat dan tim sukses masing-masing. “Dalam kesempatan itu, Ketua KPUD meminta maaf kepada yang hadir bahwa selama ini jadwal tahapan belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan karena sampai saat ini belum ada dana untuk melaksanakan tahapan-tahapan tersebut,” kata Yohanes.

Oleh karena itu, terang Yohanes, KPU Supiori menawarkan tanggal 11 Maret 2011 sebagai tanggal pemungutan suara. “Tim kandidat Mekar meminta, agar tanggal pemungutan suara diundur akhir bulan Maret 2011 guna KPUD melaksanakan pemutakhiran data pemilih ulang,” ujar Yohanes. Namun, lanjutnya, KPU Supiori tetap bertahan dengan DPT yang ada, dengan kata lain, tidak dilakukan pemutakhiran data.

Sementara itu, saksi pihak Terkait bernama Yona Petrus Sarawan dalam keterangannya di depan Panel Hakim menyatakan melihat Pemohon membagikan motor tempel kepada masayarakat. “Pada tanggal 8 Maret dan tanggal 15 Maret, saya melihat sendiri kandidat nomor urut 5 membagikan motor tempel 15 Pk kepada masyarakat,” terang Yona.

Selain itu, dalam kesaksiannya Yona juga menerangkan adanya penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye salah satu pasangan calon. “Pada waktu kandidat nomor urut 5 (Pemohon) menyampaikan atau mensosialisasikan figurnya di Kampung Masiai, menggunakan sebuah speed (speedboat) milik pemerintah,” jelas Yona.

Sebelum mengakhiri persidangan, Panel Hakim yang dipimpin oleh Achmad Sodiki yang bertindak sebagai Ketua Panel, Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Anggota Panel, mengesahkan alat bukti Pemohon berupa bukti P-1 sampai P-91. Selanjutnya, Panel Hakim Konstitusi memberi kesempatan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan tertulis dan diserahkan ke MK pada Senin depan pukul 12.00 WIB.

Selain itu, apapun putusan Mahkamah nanti, Panel Hakim berpesan kepada para pihak agar tetap menjaga kerukunan. “Majelis berpesan supaya tetap dijaga kerukunan, setelah adanya Putusan Mahkamah. Kita semua Saudara, tidak perlu menggunakan Kekerasan satu sama lain, pesan Ketua Panel Achmad Sodiki di ujung persidangan (Nur Rosihin Ana/mh)

Rabu, 06 April 2011

Uji Materi UU Tenaker: SPM Hotel Papandayan Bukan Badan Hukum, Pemohon Ubah Kedudukan Hukum

Jakarta, MKOnline - Uji konstitusionalitas materi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (6/4/2011) pagi. Dalam persidangan perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Pemohon melakukan perubahan cukup fundamental, khususnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Semula Pemohon mengambil kedudukan hukum sebagai Serikat Pekerja Mandiri (SPM) Hotel Papandayan Bandung. Setelah mendengar nasihat dan arahan Panel Hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan (11/3) lalu, pada persidangan kali ini Pemohon mengambil posisi hukum sebagai perorangan warga negara Indonesia. Pemohon beralasan SPM Hotel Papandayan bukan sebuah badan hukum. “Pada hari ini kami tidak lagi memakai Serikat Pekerja, karena Serikat Pekerja bukan badan hukum,” kata Pemohon Asep Ruhiyat.
Sementara itu, Anggota Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar kembali mengritisi tuntutan permohonan (petitum) Pemohon. Pada petitum poin 4, Pemohon meminta pemulihan hak-hak konstitusionalnya, yaitu hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel Papandayan Bandung. Menurut Akil, permintaan seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Hakim MK dalam pengujian UU. “Mahkamah tentu tidak dapat menentukan itu, terkecuali menyatakan bahwa norma pasal yang diuji itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terang Akil. Kemudian, terkait dengan pengembalian hak, Akil menyarankan Pemohon menempuh jalur hukum di luar MK.
Lebih lanjut Akil membuat tamsil untuk mempermudah pemahaman Pemohon sekaligus menghindari salah persepsi mengenai permohonan pengujian UU di MK. “Seandainya permohonan ini dikabulkan oleh Mahkamah, tentu Mahkamah hanya menyatakan bahwa norma yang ada di dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan dia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jadi Pasal itu mati sudah, maka dia mengikat seluruh stakeholder, baik perusahaan maupun pekerja di seluruh Indonesia,” lanjut Akil.
Sebagaimana persidangan sebelumnya (11/3/2011), tiga orang karyawan yang mengalami PHK Hotel Papandayan Bandung, yaitu Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih, dan Bambang Mardiyanto, dalam permohonannya merasa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat 3 UU Tenaker. Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).  
Pemohon mendalilkan Hotel Papandayan tempat pemohon bekerja, melakukan renovasi untuk meningkatkan kualitas hotel dari bintang empat menjadi bintang lima. Namun, renovasi gedung yang dilakukan berakibat di-PHKnya karyawan Hotel Papandayan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Selasa, 05 April 2011

KPU Kab. Supiori: Saksi Pasangan Mekar Tak Mau Tandatangan Tanpa Alasan Jelas

Jakarta, MKOnline - Saat Rapat Pleno Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di tingkat KPU Kab. Supiori, Pemohon dan saksi-saksi dari Pasangan Pemohon serta Panwas tidak tidak mengajukan keberatan. "Namun, ketika diminta menandatangani Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara, saksi-saksi Pemohon tidak mau menandatanganinya dengan alasan yang tidak jelas.”
Demikian disampaikan kuasa Hukum Termohon, KPU Kab. Supiori, Budi Setyanto, menanggapi permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada Kab. Supiori putaran II dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/4/2011). Permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 34/PHPU.D-IX/2011 ini diajukan oleh pasangan Julianus Mnusefer-Theodorus Kawer (Mekar).
Lebih lanjut Budi Setyanto menyatakan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Berita Acara tersebut tetap sah menurut hukum, kendati saksi-saksi dari pasangan calon Pemohon tidak menandatangani Berita Acara.
Termohon KPU Kab. Supiori juga membantah dalil Pemohon yang menyatakan KPU Supiori telah melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan KPU nomor 12 Tahun 2010 karena tidak menjadwalkan pelaksanaan pemutakhiran data pemilih dalam pelaksanaan Pemilukada putaran II di Kab. Supiori. Memperkuat dalilnya, Termohon memaparkan empat alasan.
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 183/PHPU.D/IX/2010 tidak memerintahkan pemutakhiran data pemilih dalam Pemilukada Kab. Supiori putaran II. Kedua, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang digunakan Pemilukada putaran I tidak pernah dipersoalkan oleh semua pasangan calon Peserta Pemilukada, termasuk oleh Pemohon. Ketiga, Panwas Pemilukada Kab. Supiori juga tidak pernah memersoalkan DPT yang sudah ditetapkan. Keempat, secara faktual, DPT di Kab. Supiori memang hanya sebanyak 11.141 orang. Hal ini sebanding dengan jumlah penduduk Kab. Supiori yang berkisar 19.000 orang per 31 Desember 2010.
Kemudian mengenai DPT dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang didalilkan Pemohon, Termohon menyangkal terdapat 3.493 orang pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. “Hal ini hanyalah karangan dari Pemohon saja” bantah Budi Setyanto. Demikian juga, lanjut Budi, tidak benar jika dari 3.493 orang pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT tersebar di 38 PTS. Sebalinya, Budi menanyakan siapa saja pemilih yang tidak terdaftar yang tersebar di 38 kampung, dan di TPS mana hal ini terjadi.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut, KPU Supirori dalam tuntutan permohonan (petitum) memohon kepada Mahkamah agar menyatakan menolak permohonan keberatan dari Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan sah berlakunya SK KPU Kab. Supiori Nomor 05 Tahun 2011 tentang penetapan rekapitulasi hasil perhitungan suara Pemilukada Kab. Supiori tahun 2010 putaran II dan SK Nomor 06 Tahun 2011 tentang penetapan Pasangan Calon Terpilih sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Supiori periode 2010-2015 pada Pemilukada putaran II tanggal 21 Maret 2011.
Sementara itu, Pihak Terkait pasangan Fredrik Menufandu-Yan Imbab (Menimba) melalui kuasa hukumnya, Sofyan, menganggap keberatan Pemohon secara keseluruhan hanya mengemukakan hal-hal yang bersifat asumsi. Pihak terkait juga menganggap permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), karena Pemohon tidak mampu menguraikan dengan jelas korelasi antara posita dengan petitum. “Dalam posita, Pemohon tidak menguraikan angka-angka perolehan suara yang diklaim sebagai hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta pemungutan suara ulang,” kilah Sofyan.
Justru sebaliknya, beber Sofyan, pelanggaran-pelanggaran itu banyak dilakukan oleh Pemohon. Sebab Pemohon (Julianus Mnusefer) dilantik menjadi Bupati Supiori saat putaran I Pemilukada Supiori sedang berlangsung. “Pemohon pernah dilantik sebagai Bupati Kabupaten Supiori tahun 2010 saat tahapan Pemilukada putaran pertama sedang berlangsung, dilantik oleh Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 14 Agustus 2010,” papar Sofyan.
Sidang Panel ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai ketua, didampingi Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota. Sidang selanjutnya akan digelar pada Jum’at (8/4) dengan agenda mendengar keterangan saksi-saksi. (Nur Rosihin Ana/mh)

MK Kembali Sidangkan Sengketa Tapal Batas antara Pemkab dan Pemkot Sorong

Jakarta, MKOnline – Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Sorong, Provinsi Papua Barat, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/4/2011).

Permohonan diajukan oleh Pemkab Sorong yang dalam hal ini dihadiri oleh duo kuasa hukumnya, Christoffel Tutuarima dan Alexi Sasube. Sedangkan Termohon Pemkot Sorong dihadiri Walikota Sorong, J.A. Jumame, Kabag Pemerintahan, Rahman, dan Anggota DPR Kota Sorong, Ishak Rahareng, serta didampingi kuasa hukumnya, Haris Nurlete.

Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Pemohon melalui kuasanya menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. Di antaranya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, kerugian konstitusional, dan batas wilayah yang menjadi sengketa, serta perbaikan permintaan permohonan (petitum).

“Pertama, menyangkut perbedaan antara lembaga negara dan lembaga daerah. Kedua, menyangkut sengketa kewenangan konstitusi lembaga negara, khususnya kewenangan konstitusi Pemohon yang dirugikan. Ketiga, menyangkut batas-batas wilayah antara pemohon dan Termohon,” kata kuasa hukum Pemohon, Christoffel Tutuarima.

Sebagaimana dalam persidangan pendahuluan ((21/2/2011) lalu, Pemkab Sorong mengklaim penataan wilayah Kota Sorong (Termohon) yang berasal dari batas wilayah Kota Administrasi Sorong telah mengurangi wilayah Kab. Sorong (Pemohon). Termohon telah menentukan tapal batas wilayah menurut keinginan Termohon sendiri tanpa ada koordinasi dengan Pemohon untuk membangun tanda tapal batas antara perbatasan Kota Sorong dan Kab. Sorong.

Pemohon menganggap tapal batas Kota Sorong telah masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong seluas 4 kilometer melewati hutan lindung dan tanah Dinas Pertanian Kab. Sorong yang merupakan batas terakhir dari Kelurahan Klasaman. Selain itu,
Pemohon juga mengatakan Termohon telah melakukan upaya mengelabui isi Peraturan Pemerintah 31/1996 dan UU 45/1999. Pasalnya, Termohon dianggap telah melakukan penggusuran terhadap hutan lindung dan membangun daerah pemukiman baru serta melakukan pemekaran dan pembentukan distrik dan kelurahan baru di wilayah Kab. Sorong. Tidak hanya itu, Termohon pun membangun dua kantor kelurahan, yaitu Kelutrahan Klablim dan Kelurahan Klasuat.
Pemohon menganggap tapal batas Kota Sorong telah masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong seluas 4 kilometer melewati hutan lindung dan tanah Dinas Pertanian Kabupaten Sorong yang merupakan batas terakhir dari Kelurahan Klasaman.

Terhadap perbaikan Permohonan, Pemkot Sorong melalui kuasanya menyatakan belum menyiapkan jawaban tertulis. “Pada prinsipnya, secara tertulis kami belum siap,” kata kuasa Pemkot Sorong, Haris Nurlete.

Sebelum mengakhiri sidang untuk perkara Nomor 1/SKLN-IX/2011, Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang bertindak sebagai ketua, didampingi Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai anggota, mengesahkan tiga bukti Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-3. (Nur Rosihin Ana/mh)