>

Harmoni...

Jakarta, September 2010.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 19 Desember 2011

Permohonan Gusnar-Toni Dikabulkan, Tapi NKRI Tetap Pemenang Pemilukada Prov. Gorontalo

Permohonan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo yang diajukan pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli (GT) memasuki tahap final yaitu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam amar putusan perkara 120/PHPU.D-IX/2011 menyatakan mengabulkan sebagian permohonan GT. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh.Mahfud MD dalam persidangan yang digelar pada Senin (19/12/2011) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Mahkamah juga membatalkan perolehan suara Pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo sejumlah 105.148 suara yang didapatkan dari Kabupaten Gorontalo. Kemudian, menetapkan perolehan suara yang benar untuk masing-masing Pasangan calon peserta Pemilukada Provinsi Gorontalo Tahun 2011, yaitu: pasangan H. Rusli Habibie-H. Idris Rahim (nomor urut 1) sejumlah 264.011 suara; pasangan H. Gusnar Ismail-H. Tonny Uloli (nomor urut 2) sejumlah 183.060 suara; pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo (nomor urut 3) sejumlah 48.104 suara.
Kendati permohonan dikabulkan sebagian, namun tetap tak mampu mendongkrak perolehan pasangan GT sebagai pemenang Pemilukada Provinsi Gorontalo. Posisi peraih suara terbanyak tetap dipegang pasangan H. Rusli Habibie-H. Idris Rahim (NKRI).
Mahkamah berpendapat, Pemohon dapat membuktikan dalil-dalil mengenai terjadinya pelanggaran secara terstruktur, sistematis, masif di Kabupaten Gorontalo. Namun, Mahkamah tidak memerintahkan pemungutan suara ulang melainkan langsung membatalkan perolehan suara khususnya bagi pihak yang secara nyata telah melakukan pelanggaran tersebut, yaitu suara pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo.

Tak Penuhi Syarat Dukungan
Mahkamah selain membacakan putusan permohonan GT tersebut, beberapa saat sebelumnya juga membacakan putusan permohonan sengketa Pemilukada Provinsi Gorontalo yang diajukan oleh bakal pasangan calon Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi. Mahkamah dalam amar putusan perkara Nomor 121/PHPU.D-IX/2011 menyatakan permohonan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi tidak dapat diterima. “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Mahkamah berpendapat, gabungan partai yang mengusung pencalonan Pemohon sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, tidak memenuhi syarat 15% sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (2) UU Pemda yang menyatakan, “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(Nur Rosihin Ana)

Jumat, 16 Desember 2011

Terganjal Syarat Dukungan, Cabup Bangkalan Imam Buchori Ujikan UU Pemda

Persyaratan 15% bagi partai politik atau gabungan partai dalam hal usung-mengusung calon kepala daerah merupakan aral yang potensial mengganjal keinginan Imam Buchori untuk tampil sebagai calon Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Demikian antara lain pokok permohonan yang disampaikan Muhammad Soleh, kuasa hukum Imam Buchori, dalam sidang panel pendahuluan perkara Nomor 83/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (16/12/2011).
H. Imam Buchori yang menjabat Wakil Ketua Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Jawa Timur Periode 2010-2015 ini memohonkan judicial review terhadap Pasal 59 ayat (1) huruf a sepanjang frase “atau gabungan partai politik” dan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pasal 59 ayat (1) huruf a: “Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Pasal 59 ayat (2): “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi, Imam melalui kuasa hukumnya, Muhammad Soleh, menganggap pasal UU Pemda yang diujikannya tersebut tidak memberikan penghormatan dan kebebasan kepada semua warga negara untuk bisa dicalonkan menjadi kepala daerah. Karena materi muatan ayatnya dibuat demi menyenangkan partai-partai besar. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Imam Buchori merasa dirugikan karena keinginannya mengajukan diri menjadi calon bupati Bangkalan, Jawa Timur Periode 2013-2018 terganjal. Sebab partai pengusungnya yaitu PKNU hanya mendapatkan perolehan 5 kursi di DPRD Kabupaten Bangkalan atau sama dengan 10% dari jumlah kursi yang ada di DPRD Kabupaten. “Kalau kita merujuk pada pasal 59 tadi, maka (perolehan PKNU di Bangkalan) tidak sampai 15 persen,” terang Soleh.
Syarat jumlah kursi 15% sesungguhnya merupakan syarat pembatasan agar calon peserta Pemilukada tidak terlalu banyak. Namun menurut Pemohon, syarat yang dibuat oleh pembentuk UU haruslah mencerminkan rasa keadilan. Misalnya semua partai yang mendapatkan kursi berhak mencalonkan kepala daerah. Gagasan ini sangat rasional, sebab partai yang mendapatkan kursi adalah representasi keterwakilan dan kepercayaan rakyat kepada partai politik. Pemohon menginginkan, hanya dengan perolehan 1 kursi di DPRD sudah bisa menjadi tiket bagi partai untuk mengusung calon kepala daerah. “Satu kursi itu derajat keterwakilan dari partai yang bisa mencalonkan,” pinta Soleh.(Nur Rosihin Ana)

Rabu, 14 Desember 2011

Terpidana Kasus Perbankan Ujikan UU Perbankan

Terpidana kasus perbankan, Fara Novia Manoppo, melalui kuasanya, Ichwan Heru Putranto, menyatakan keberatan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan yang mensyaratkan adanya pidana maksimal dan minimal serta denda maksimal dan minimal. Demikian sidang uji materi UU Perbankan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (14/12/2011).
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) menyatakan: “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan  kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliyar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah)”.
Menurut Pemohon, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (1)c Undang-Undang Perbankan bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang merupakan hak asasi, sebagaimana dimaksud oleh  Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Ichwan Heru Putranto, kuasa hukum Fara.
Sebagaimana dalam uraian permohonan, Fara Novia Manoppo diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara karena melakukan tindak pidana perbankan yang terjadi pada Bank OCBC NISP Tbk. Cabang Kelapa Gading sebesar Rp. 385.520.000. Amar Putusan PN Jakarta Utara Nomor: 86/Pid.Sus/2011.PN.Jkt.Ut tertanggal 20 April 2011, menjatuhkan pidana penjara enam tahun dan denda 10 milyar rupiah.
Sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut dijatuhkan berdasarkan pada ketentuan Pasal 49 (1) C UU Perbankan. Fara menganggap putusan PN Jakarta Utara memberatkan dan merugikan hak-hak konstitusionalnya. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan sanksi pada tindak pidana Pencucian Uang, tindak pidana Korupsi atau bahkan tindak pidana Penggelapan.
Di sisi lain, Majelis Hakim PN Jakarta Utara yang yang mengadili Fara, tidak mungkin menghukum Fara dengan sanksi pidana di bawah lima tahun karena jika hal tersebut dilakukan, maka Majelis Hakim tersebut telah melanggar ketentuan dan aturan dalam UU Perbankan.
Persidangan pendahuluan untuk perkara Nomor 82/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan Panel Hakim Konstitusi yaitu Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua, didampingi Achmad Sodiki dan Muhammad Alim. Menanggapi permintaan Fara agar Mahkamah menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan PN Jakarta Utara untuk menghentikan dan atau menunda penghukuman pidana, Hakim Konstitusi Acmad Sodiki menyatakan permintaan ini bukan merupakan wewenang Mahkamah. “Kita tidak punya kewenangan untuk mencampuri pengadilan negeri,” kata Sodiki. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 08 Desember 2011

Kesaksian “Korban” dan “Pelaku” Intimidasi Pemilukada Provinsi Gorontalo


Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo yang diajukan pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli (GT), Pemohon untuk perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011) dan pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi (perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011), kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (8/12/2011). 
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Achmad Sodiki diampingi dua Anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono, beberapa saksi Pemohon menerangkan terjadinya intimidasi yang dilakukan oleh beberapa kepala desa (Kades). Misalnya penuturan Nani Dango, warga Wubudu Kec. Sumalata, Kab. Gorontalo Utara. Pada malam hari menjelang pencoblosan, Nani mengaku diancam oleh Kadesnya. Nani diancam digusur dari tanah yang ditempatinya jika memilih pasangan GT. Padahal tanah yang ditempatinya adalah milik orang tuanya.
Saksi Yamin Paramata, warga desa Tolongio, Kec. Anggrek, Kab. Gorontalo Utara menerangkan, dia dan para wali murid diancam kepala sekolah SMPN 2 Anggrek. “Bapak dan Ibu harus mendukung NKRI (Rusli Habibie dan Idris Rahim), kalau tidak mendukung NKRI, maka anak Bapak Ibu tidak akan lulus,” kata Yamin menirukan ucapan kepala sekolah anaknya. 
Selanjutnya, pengakuan beberapa Kades yang pernah melakukan pemihakan kepada calon tertentu, antara lain Nasir Zain. Nasir mengaku diundang Camat Batudaa Pantai pada 1 September 2011 bertermpat di Kantor Kecamatan. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan mengenai arah pembangunan dan masalah kemasyarakatan. “Tapi arah pembicaraan,... mendesak kepala-kepala desa untuk memenangkan pasangan David Bobihoe dan Nelson Pomalingo,” terangnya.
Setelah menerima perintah secara lisan, esoknya Nasir mengundang seluruh kepala dusun dan perangkat lainnya. Bertempat di kantor kepala desa, Nasir menggalang dukungan pemenangan Davidson. “Dan memberikan penekanan kepada masyarakat, apabila tidak mendukung paket Davidson, maka program-program seperti Jamkesda, akan ditarik oleh Bapak Camat, dan yang menerima raskin akan dialihkan kepada yang mendukung Davidson” lanjutnya.
Selain kesaksian beberapa Kades, Pemohon juga menghadirkan Camat Tibawa,
Rita Idrus. Sejak Davidson maju sebagai pasangan cagub, Rita mengaku sering melakukan pertemuan dengan seluruh Kades, Satuan Kerja Perangkat Kerja Daerah (SKPD) yang ada di Tibawa. “Dan menekan mereka untuk memenangkan paket Davidson,” kata Rita dalam kesaksiannya. Dengan jujur Rita pernah mengatakan kepada seluruh SKPD, “Jika tidak mau mendukung Bapak David, maka maka saya rekomendasikan kepada Bapak Sekda untuk dimutasi ke tempat yang jauh.”
“Anda tahu, berapa camat yang melalkukan seperti Anda?” Tanya Harjono. Semua Camat,” jawab Rita singkat.
(Nur Rosihin Ana)

Selasa, 06 Desember 2011

Pemilukada Provinsi Gorontalo Diwarnai Pelanggaran Terstruktur, Sistimatis, dan Masif

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo yang digelar pada 16 November 2011 lalu, menyisakan sengketa. Pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli dan pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi mengajukan keberatan terhadap proses dan hasil Pemilukada Gorontalo ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menannggapi permohonan kedua pasangan tersebut, Mahkamah menggelar sidang pendahuluan, Selasa (6/12/2011), bertempat di ruang panel lt. 4 gedung MK.
Kuasa hukum pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli (Pemohon perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011), Utomo Karim, dalam summary pokok permohonan menuturkan terjadinya pelanggaran terstruktur, sistimatis dan masif yang terjadi di wilayah Provinsi Gorontalo, khususnya di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara.
“Pelanggaran secara terstruktur, sistimatis dan masif tersebut secara telanjang dapat dilihat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo, di mana Bupatinya, David (Bobihoe), dan Kabupaten Gorontalo Utara, di mana Bupatinya Rusli Habibie, ikut sebagai calon gubernur pada Pemilukada Provinsi Gorontalo,” kata Utomo Karim mendalilkan.
Lebih lanjut Utomo menyatakan, Bupati Gorontalo dan Bupati Gorontalo Utara menggunakan kewenangannya sebagai bupati secara terstruktur, sistimatis dan masif. Keduanya memerintahkan seluruh aparat Pemda, mulai dari SKPD, Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun hingga warga masyarakat, untuk memilih kedua bupati tersebut. Memperkuat dalilnya, Utomo Karim mengajukan beberapa alat bukti dan saksi.
Utomo Karim juga menuding KPU dan Panwaslukada Gorontalo melakukan pembiaran terhadap terjadinya pelanggaran. “Termohon (KPU Gorontalo) mendisain sedemikian rupa sehingga kotak suara dengan mudah dapat dilepas dan dipasang kembali, yang mana menguntungkan pasangan calon tertentu” lanjut Utomo Karim.
Utomo memohon kepada Mahkamah agar menyatakan tidak sah Keputusan KPU Provinsi Gorontalo mengenai penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilukada Provinsi Gorontalo Tahun 2011 tanggal 23 November 2011, yaitu Keputusan Nomor 22/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011, dan Keputusan Nomor 23/Kpts/pilgub/KPU-Prov-027/2011 mengenai penetapan pasangan calon terpilih. Selain itu, memohon Mahkamah agar mendiskualifikasi pasangan Rusli Habibie-Idris Rahim dan pasangan David Bobihoe-Nelson Pomalingo karena melakukan pelanggaran bersifat terstruktur, sistimatis dan masif. Kemudian memohon pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara.
Sementara itu, Syahrir, kuasa pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi (perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011) dalam summary pokok permohonan menyampaikan keberatan karena KPU Provinsi Gorontalo tidak meloloskan pasangan ini menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur. Padahal menurut Syahrir,  Ramdhan-Sofyan didukung oleh 11 partai. “Tetapi Termohon (KPU Gorontalo) tidak meloloskan Pemohon dengan berbagai alasan yang tidak beralasan hukum,” kata Syahrir.
Syahrir memohon Mahkamah agar menyatakan pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi adalah pasangan bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur Gorontalo yang sah karena didukung oleh sebelas partai politik. Kesebelas partai dimaksud yaitu Parta Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPI), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Patriot, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Peduli Rakyat Indonesia (PPRI), Partai Demokari Kebangsaan (PDK), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).
Kemudian, membatalkan Keputusan KPU Provinsi Gorontalo Nomor 18/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011 mengenai penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat sebagai peserta Pemilukada. Memerintahkan KPU Provinsi Gorontalo untuk melakukan Pemilukada dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi faktual terhadap seluruh bakal pasangan calon paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan. Selain itu, senada dengan Utomo Karim, Syahrir juga memohon Mahkamah membatalkan keputusan KPU Provinsi Gorontalo Nomor 22/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011 dan Keputusan Nomor 23/Kpts/pilgub/KPU-Prov-027/2011.  
Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai Ketua Panel, diampingi dua Anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono. Sidang berikutnya digelar pada Kamis, 8 Desember 2011. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 01 Desember 2011

Jabatan Wakil Menteri Digugat di Mahkamah Konstitusi


Istilah wakil menteri tidak dikenal dalam dalam UUD 1945. Pengangkatan wakil menteri yang dilakukan oleh Presiden pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB II) yang bersandarkan pada Pasal Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara), adalah bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945. Demikian dikatakan M. Arifsyah Matondang, saat didaulat menjadi kuasa Pemohon di persidangan Mahkamah Konstitusi, Kamis (1/12/2011).

Sidang permohonan judicial review materi UU Kementerian Negara ini diajukan oleh Adi Warman, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dan H. TB. Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu” bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Memperkuat dalil permohonan, lebih lanjut kuasa Pemohon, Arifsyah menuturkan, Pasal 51 Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menyatakan, “Susunan organisasi Kementerian yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 terdiri atas unsur: a. pemimpin, yaitu Menteri; b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian; c. pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan d. pengawas, yaitu inspektorat kementerian.

Berdasarkan ketentuan tersebut, wakil menteri tidak ada dalam susunan organisasi kementerian. Pengangkatan jabatan wakil menteri akan menaikkan anggaran untuk kantor kementerian. “Apalagi pada kabinet saat ini ada 20 wakil menteri setelah resfhuffle pada selasa 18 Oktober 2011,” lanjut Arif mendalilkan.
Arif juga mengutip pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat pengumuman reshuffle KIB II di Istana Negara pada tanggal 18 Oktober 2011, yaitu “Tidak ada penggemukan dalam kabinet, namun Presiden sesuai UU bisa menunjuk wakil menteri. Wakil Menteri, dia bukan anggota kabinet, jadi tidak ada penambahan anggaran”. Pendapat Presiden ini menurutnya tidak dikenal dalam Pasal 17 UUD 1945.

Konsekuensi pengangkatan menteri menuntut penyediaan berbagai fasilitas khusus dari negara yang dananya bersumber dari APBN, di antaranya: rumah dinas, kendaraan dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, supir, beberapa staf pembantu. Berdasarkan estimasinya, pemakaian uang negara untuk seorang wakil menteri, yaitu sebesar Rp. 1,2 miliar per tahun.

Jabatan wakil menteri menurut Pemohon, dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai negeri sipil, dengan modus operandi: membagi-bagi jabatan wakil wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan Presiden. Hal ini adalah dapat dibuktikan dengan diterbitkannya revisi Perpres Nomor 47/2009 tentang Pembentukan dan Organissi Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Perpres Nomor 76/2011. Tujuannya, tuding Pemohon, agar orang dekat Presiden RI yang tidak memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 24 November 2011

Calon Perseorangan Tidak Bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU Helsinki

Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh yang diajukan oleh Ir. H.T.A. Khalid, M.M. (bakal calon Gubernur Aceh) dan Fadhlullah (bakal calon Bupati Pidie) memasuki tahap pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/11/2011) sore. Dalam amar putusan perkara Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, didampingi Anggota Panel Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva.

Putusan ini Menguatkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 bertanggal 2 November 2011. Mahkamah dalam amar putusan juga memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Pemilihan Kab./Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh.

Selain itu, putusan Mahkamah juga menyatakan calon perseorangan dalam Pemilukada Aceh tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar butir 1.2.2 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka). Kemudian Mahkamah menyatakan berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada di Provinsi Aceh. Terakhir, menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Pangkal persoalan yang melatarbelakangi sengketa Pemilukada Aceh ini menyangkut tiga hal yaitu mengenai calon perseorangan; kedudukan KIP Aceh dan Qanun; dan terakhir mengenai penyelesaian sengketa Pemilukada. Mengenai calon perseorangan, Pasal 256 UU 11/2006 dan Pasal 33 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Qanun 7/2006) menyatakan perseorangan dapat mengajukan diri atau mencalonkan diri sebagai pasangan bakal calon kepala daerah di Aceh. Sementara itu, menurut Pasal 59 UU 32/2004, pasangan calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007, menegaskan calon perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut didasarkan, antara lain, pada pertimbangan praktik di Aceh yang memperbolehkan calon perseorangan, sehingga Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 dan pasal serta ayat terkait, yang membatasi bahwa calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut tampak tegas diperbolehkannya perseorangan menjadi calon dalam Pemilukada untuk daerah lain di Indonesia, yang justru belajar dari masyarakat Aceh yang bertujuan, antara lain, untuk meningkatkan nilai demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Selanjutnya sebagai implementasi dari putusan tersebut, pada tahun 2008 diundangkan UU 12/2008 yang antara lain memuat materi mengenai calon perseorangan.

Meskipun UU 11/2006 maupun Qanun 7/2006 membatasi calon perseorangan hanya untuk Pemilukada tahun 2006 saja, hal ini tidak berarti bahwa rakyat Aceh hanya berhak satu kali saja untuk mengusung calon perseorangan dalam Pemilukada. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010, calon perseorangan yang semula diperbolehkan hanya satu kali saja, yaitu pada Pemilukada tahun 2006, menjadi diberlakukan untuk pemilihan-pemilihan kepala daerah setelahnya.

Memperkuat MoU Helsinki

Mahkamah berpendapat putusan tersebut tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). Mou Helsinki justru memperkuat kehendak masyarakat Aceh, karena MoU Helsinki menyatakan bahwa, ”The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the Acehnese people can manifested through a fair and democratic process within the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia (Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia)”.

Dengan demikian menurut Mahkamah, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa MoU Helsinki bagi calon perseorangan untuk semua Pemilukada di Aceh hanya berlaku satu kali. Sebab dari dua butir kesepahaman MoU Helsinki tampak jelas bahwa calon perseorangan diperbolehkan. Hak rakyat Aceh untuk memilih calon perseorangan diberikan untuk pemilihan bulan April 2006 dan setelahnya (thereafter), tidak hanya untuk satu kali saja.

Berpedoman Qanun

Mengenai KIP Aceh, kedudukan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota sama dengan penyelenggara Pemilu di daerah lainnya di Indonesia, yaitu mempunyai sifat tetap, memiliki hubungan hierarkis dengan penyelenggara pemilihan umum nasional (KPU), serta dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri, independen, non partisan, dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Perbedaannya terletak pada penyebutan dan adanya pengaturan dalam Qanun. Sehingga tata cara pelaksanaan tahapan Pemilukada di Aceh berpedoman pada Qanun.

Kendati demikian, Qanun tersebut harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan. Logika hukumnya, Qanun hanya mengatur materi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Rabu, 02 November 2011

Ne Bis In Idem, Uji UU Kesehatan Tidak Diterima

Peringatan bahaya rokok dalam UU Kesehatan yang diujikan di Mahkamah Konstitusi (MK), memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah dalam amar putusan yang dibacakan pada Selasa, (2/11/2011) malam, menyatakan permohonan tidak tidak dapat diterima. 

Sidang pengucapan putusan untuk perkara 43/PUU-IX/2011 ini diajukan oleh Dr. Widyastuti Soerojo, M.Sc., Dr. Muherman Harun dan Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI). Widyastuti dan Muherman masing-masing berprofesi sebagai dokter yang mempunyai kewajiban untuk mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 9 dan Pasal 12 UU 36/2009. Sementara ISMKMI, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya berkomitmen membela kepentingan publik dalam hal ini bidang kesehatan.

Mahkamah berpendapat, Pasal 114 UU 36/2009 tentang Kesehatan yang diujikan para Pemohon, telah diputus Mahkamah dalam putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, beberapa saat sebelum putusan Nomor 43/PUU-VIII/2010 dibacakan. Sementara menurut Pasal 60 UU MK, Pasal 42 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU menyatakan, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, kecuali dengan alasan lain atau berbeda, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Pada hakikatnya, menurut Mahkamah,  permohonan dan alasan-alasan dalam permohonan Nomor 34/PUU-VIII/2010 adalah sama dengan permohonan Nomor 43/PUU-VIII/2010 yang diajukan Widyastuti, Muherman dan ISMKMI, di mana dalam pertimbangannya antara lain menyatakan, bahwa kata ”dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU 36/2009 yang dihubungkan dengan pengertian ”wajib mencantumkan peringatan kesehatan”, mengandung dua pengertian yang berbeda sekaligus yaitu kumulatif dan alternatif. Padahal, penjelasan dari suatu pasal diperlukan justru untuk menjelaskan dengan rumusan yang tegas supaya dapat memaknai kata ”wajib mencantumkan peringatan kesehatan” dalam ketentuan Pasal 114 tersebut menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain.

Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, sepanjang mengenai pasal yang telah diuji dengan batu uji yang sama mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan perkara ini. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan tersebut, uji konstitusionalitas pasal yang dimohonkan Widyastuti Soerojo, Muherman Harun dan ISMKMI dinyatakan ne bis in idem.

Selasa, 18 Oktober 2011

Uji UU MD3: Menyoal Badan Kehormatan dan Rangkap Jabatan

Uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, (18/10/2011).
Kuasa Hukum para Pemohon, Firman Wijaya, menyampaikan beberapa perbaikan permohonan. Perbaikan menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum Pemohon (legal standing). “Pemohon I dan Pemohon II adalah warga negara Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Kerja Petisi 50 yang giat mengkritisi jalannya roda pemerintahan sejak masa orde baru dan berkuasa hingga saat ini. Sedangkan Pemohon III adalah warga negara Indonesia yang menjadi mahasiswa tahun 1996, senantiasa mengkritisi kebijakan pemerintah hingga sampai saat ini,” kata Firman menyampaikan perbaikan legal standing para Pemohon.
Uji materi UU MD3 ini diajukan Judiherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah. Materi yang diujikan yaitu Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 208 ayat (2), Pasal 234 ayat (1) huruf (f), Pasal 245 ayat (1), Pasal 277 ayat (2), Pasal 302 ayat (1) huruf (f), Pasal 327 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf (f), Pasal 378 ayat (2). 
Para Pemohon mendalilkan, pengaturan sifat dan keanggotaan BK DPR, DPD dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 124 ayat (1), Pasal 234 ayat (1) huruf (f), Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 353 ayat (1) huruf (f) UU No.27 Tahun 2009 berpotensi tidak akan mendapatkan perlakuan hukum yang adil karena keanggotaan internal BK berpotensi membela kepentingan anggotanya.
Sedangkan Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 ayat (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2) UU MD3 memberikan peluang bagi anggota DPR, DPD dan DPRD sebagai wakil rakyat dan wakil daerah untuk tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD. Selain itu, adanya pelanggaran etika yang tidak ditangani secara independen dan obyektif serta adanya rangkap pekerjaan akan sangat berpengaruh pada produk-produk pengawasan, legislasi dan pengawasan anggaran yang akan dihasilkan.
Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan untuk perkara Nomor 59/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Achmad Sodiki dan Anwar Usman. Sebelum mengakhiri mengesahkan alat bukti para Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-15. (Nur Rosihin Ana/mh)

Selasa, 20 September 2011

MK: Hak dan Kewajiban Pengusaha-Pekerja Berhenti Setelah Putusan PHK Inkracht


Jakarta, MK Online - Mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) telah diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) dan UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pasal 151 UU Tenaker menegaskan, pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat dihindari, maka pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Namun jika tidak tercapai kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 37/PUU-IX/2011, Senin, (19/9/2011) bertempat di ruang sidang Pleno Gedung MK. Permohonan uji materi UU Tenaker ini diajukan oleh Ugan Gandar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Eko Wahyu Sekretaris Jenderal (FSPPB), dan Rommel Antonius Ginting. Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Tenaker, yang menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya” Menurut para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.

Dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Mahkamah menyatakan frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

Mahkamah berpendapat, PHK yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi batal demi hukum [vide Pasal 155 ayat (1) UU 13/2003]. Selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.

Ketika perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU 2/2004, maka perselisihan tersebut dianggap belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak tentang makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.

Di sisi lain, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan: ”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut, menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan dari frasa tersebut, sehingga para pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.

Menurut Mahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap. Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon tersebut terbukti dan beralasan menurut hukum. (Nur Rosihin Ana/mh)