>

Harmoni...

Jakarta, September 2010.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 Februari 2012

Jalan Panjang Meraih “Berkah” Pemekaran Wilayah


Tujuan pemekaran daerah adalah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, kemudahan, non-diskriminasi, dan keadilan, yaitu, untuk memperpendek bentang kendali pemerintahan, mendekatkan, memudahkan, dan mengefisiensi  pelayanan pemerintah dalam rangka mensejahterakan, meningkatkan peran-serta masyarakat, dan efiseiensi pelaksanaan pembangunan dalam wilayah yang dimekarkan sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru.

Demikian disampaikan Minhad Ryad di hadapan Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/2/2012) siang. Minhad menjalani sidang uji materi UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkayang dan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang yang diajukannya ke MK beberapa waktu yang lalu. Materi UU Nomor 10 Tahun 1999 yang dijukannya yaitu Pasal 3, Pasal, 5 ayat (1) dan Penjelasan Umum alinea kelima. Sedangkan materi UU Nomor 12 tahun 2001 yang diujikannya yaitu Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Umum alinea kesatu, kedua dan keempat.

Di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang terdiri Anwar Usman (ketua panel) didampingi dua anggota, Muhammad Alim dan Maria Farida Indrati, warga Pangkalan Darat, Kecamatan Sungai Raya, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat ini mengungkapkan perjuangannya selama 13 tahun mencari keadilan untuk mendapatkan berkah pemekaran wilayah.

Pemekaran Kab. Sambas menjadi tiga kabupaten otonom, yaitu Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, dan Kab. Singkawang potensial merugikan hak-hak konstitusional Minhad yang dijamin UUD 1945. Ketiga daerah otonom tersebut yaitu Kab. Sambas yang meliputi delapan kecamatan. Kemudian, Kabupaten Bengkayang yang meliputi delapan kecamatan. Terakhir, Kota Singkawang yang meliputi tiga kecamatan (Pasiran, Roban dan Tujuhbelas).

Menurut Minhad, UU Nomor 10 Tahun 1999 tidak sesuai dengan tujuan pemekaran daerah, karena tidak menjamin kepastian hukum. Selain itu, lanjut Minhad, keputusan membentuk tiga daerah otonom menjadi batal karena hanya dua daerah otonom saja yang terjadi, yaitu Kab. Sambas dan Kab. Bengkayang. Sementara nasib Kota Administratif (Kotif) Singkawang menjadi tidak jelas, karena wilayahnya yaitu Kec. Roban dan Kec. Pasiran digabungkan ke Kabupaten  Bengkayang.

“Padahal secara konstitusional, berdasarkan PP 9 Tahun 1981, Kotif Singkawang berada dan bertanggung jawab kepada Kab. Sambas. Begitu pula dengan Kec. Tujuhbelas dan Kec. Sungai Raya, yang berorientasi ke Singkawang, malah digabungkan ke Kab. Bengkayang, yang seharusnya tetap berada di Kab. Sambas,” dalil Minhad.

Berlakunya UU Nomor 10 Tahun 1999 menyebabkan Minhad harus menempuh jarak lebih jauh. Jarak tempuh dari Kec. Sungai Raya ke Singkawang yang merupakan ibukota Kabupaten Sambas, hanya 50 km, yang ditempuh selama satu jam perjalanan menggunakan bis umum. Waktu itu Kec. Sungai Raya masih tergabung dalam wilayah Kab. Sambas.

Namun, setelah Kec. Sungai Raya digabungkan ke dalam wilayah Kab. Bengkayang, untuk menuju ibukota kabupaten menjadi jauh yaitu 125 km, yang ditempuh selama 3-4 jam perjalanan menggunakan bis umum. “Padahal ke Singkawang hanya 50 km,” lanjutnya.

Di persidangan terungkap, Minhad pada tahun 2005 pernah mengajukan keberatan mengenai digabungkannya Kec. Sungai Raya ke dalam wilayah Kab. Bengkayang. Saat itu, Mahkamah dalam amar putusan perkara 016/PUU-III/2005, yang dibacakan pada 19 Oktober 2005, menyatakan permohonan Minhad tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). (Nur Rosihin Ana/mh)

Kamis, 23 Februari 2012

KPU Kab. Jepara Bantah Surat Suara Melebihi Ketentuan Pemilukada

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara selaku Termohon, melalui kuasa hukumnya, Abhan, menyatakan Pemilukada Kabupaten Jepara 2012 telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan berpegang pada prinsip-prinsip dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Pelaksanaan Pemilukada Jepara berlangsung aman dan tertib dengan partisipasi pemilih yang meningkat yaitu sebesar 65,27%, jika dibandingkan Pemilukada sebelumnya pada 2007 yaitu sebesar 55,07%.
Abhan membantah dalil permohonan pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (Nuranis), mengenai selisih perolehan suara. Abhan juga menilai permohonan kabur (obscuur libel), karena Nuranis tidak menunjukkan dengan jelas mengenai tempat terjadinya pelanggaran, siapa pelakunya, dan kapan terjadinya pelanggaran.
Sedangkan dalam pokok perkara, KPU Jepara membantah dalil Pemohon mengenai pencetakan surat suara yang melebihi kebutuhan. KPU Jepara mengakui bahwa pihak rekanan berinisiatif mencetak surat suara melebihi pesanan KPU Jepara. Untuk menghindari terjadinya fitnah, KPU Jepara menggelar dua kali pertemuan koordinasi. Pada pertemuan yang digelar 19 Januari 2012, bertempat di Kantor KPU Jepara, dilakukan penyegelan surat suara. Acara ini dihadiri berbagai pihak, antara lain, tiga tim kampanye pasangan calon, DPRD Jepara, Pemda, Panwaslukada, Polres, Kodim, Kajati. Sementara tim pasangan Nuranis tidak hadir karena sedang melakukan kampanye.
“Dengan demikian, dapat dipastikan, tidak ada kelebihan surat suara di luar ketentuan. Keberadaan sisa surat suara yang dicetak sebagai antisipasi rekanan terhadap kemungikan permintaan pengganti surat suara yang rusak atau cacat, telah diamankan dengan baik dan tidak mempengaruhi proses pemungutan dan penghitungan suara.”   
Demikian dikatakan Abhan selaku kuasa hukum KPU Jepara dalam Sidang perkara Nomor 5/PHPU.D-X/2012 mengenai perselisihan hasil Pemilukada Kab. Jepara, yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Kamis, (23/2/20012). Persidangan dengan agenda mendengarkan Jawaban KPU Jepara (Termohon), keterangan pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto selaku Pihak Terkait, serta mendengar keterangan saksi, dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Achmad Sodiki sebagai ketua panel, didampingi dua anggota panel, Harjono dan Anwar Usman. Sidang dihadiri Nur Yahman (Pemohon) didampingi kuasanya, Heru widodo dkk. Pihak Termohon hadir Ketua KPU Jepara, Muslim Aisha dan jajarannya, seorang anggota KPU Provinsi Jawa Tengah serta didampingi kuasanya, Abhan. Sedangkan Pihak Terkait hadir pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) didampingi kuasanya, Umar Ma’ruf dkk.
Lebih lanjut umar juga membantah dalil pasangan Nuranis mengenai kurangnya surat suara di beberapa kecamatan. Memperkuat bantahan, Umar memaparkan data surat suara di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara yaitu sejumlah 821.555 suara. “Sedangkan pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 538.739,” papar Umar.
Sementara itu, pasangan Mabrur melalui kuasa hukumnya, Umar Ma’ruf, menepis dalil-dalil Pemohon dan menganggapnya sebagai isu belaka. Misalnya isu mengenai adanya pengajian di Pendopo Kabupaten Jepara, Kampanye di halaman SD Ngetuk, surat undangan yang tidak dibagikan secara sengaja, dan isu pembagian sembako di dua Kecamatan yaitu Kalinyamatan dan Mayong. “Isu tersebut nyata-nyata tidak terjadi dan dengan sendirinya tidak terbukti,” terang Umar.
Umar juga menganggap dalil Pemohon mengenai acara silaturrahim Paguyuban Pamong Desa (PPD) yang dihadiri pasangan Mabrur, merupakan penggambaran yang berlebihan. Pasangan Mabrur, kata Umar, hanya menyikapi secara wajar undangan dari para petinggi desa (kepala desa) untuk berbicara mengenai visi-misi pasangan calon. Selain itu, Mabrur tidak pernah memerintahkan koordinator PPD untuk membuat dan membagi undangan kepada para petinggi dan perangkat desa. “Dengan demikian, tidak benar Pihak Terkait yang memerintahkan PPD untuk membagi undangan dan mengatur pertemuan para petinggi. Yang terjadi adalah, para petinggi sendiri yang memiliki kegiatan, Pihak Terkait hanya mencoba menghormati undangan yang diberikan,” papar Umar.
Menganggapi dalil Pemohon yang menyatakan petugas KPPS pada saat pembukaan TPS memberikan pengarahan mengenai tata cara pencoblosan kepada pemilih dengan instruksi dengan bahasa Jawa Nek nyoblos, siji wae ojo loro, telu, opo papat, mangkeh batal” (Kalau nyoblos satu saja, jangan dua, tiga atau empat, nanti batal), pihak Mabrur menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi tentang hal tersebut. “Ucapan yang didalilkan Pemohon tersebut seakan-akan ingin menggambarkan petugas KPPS memihak kepada Pihak Terkait. Bahwa hal tersebut tidak benar, dan lebih dari itu, Pihak Terkait tidak mempunyai hubungan struktural dengan penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPPS, sehingga tidak mungkin memerintahkan untuk melakukan hal sedemikian,” tandas Umar Ma’ruf.  
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan saksi yang dihadirkan Pemohon. Salah seorang saksi bernama Junaidi, Kepala Desa Purwogondo Kecamatan Kalinyamatan, mengaku mendapat surat undangan dari koordinator PPD untuk mengumpulkan petinggi dan perangkatnya dalam acara silaturrahim dan sosialisasi Pemilukada Jepara. Acara diselenggarakan di Waterboom Tiara Park, Desa Purwogondo dan dihadiri calon wakil bupati Subroto menyampaikan materi mengenai perekonomian di Jepara. Di tengah acara, saksi mengaku menyiapkan amplop untuk petinggi dan perangkat yang hadir. “Pada waktu itu saya dipanggil oleh koordinator untuk mempersiapkan amplop nanti yang akan diberikan kepada para petinggi dan perangkat yang hadir,” terang Junaidi.
Untuk diketahui, pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar mengajukan keberatan terhadap Berita Acara yang diterbitkan oleh Termohon yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara Nomor 6/BA/II/2012 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2012 tertanggal 4 Februari 2012. Dalam lampiran berita acara tersebut, KPU Jepara menetapkan perolehan suara untuk masing-masing calon: Pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (nomor urut 1) memperoleh 222.213 suara; pasangan Kaeron Syariefudin-Ahmad Ja’far (nomor urut 2) 15.926 suara; pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (nomor urut 3) 189.150 suara, dan pasangan Yuli Nugroho-Nuruddin Amin (nomor urut 4) 95.699 suara.
Menurut Heru Widodo, kuasa hukum Nur Yahman-Aris Isnandar, penetapan rekapitulasi tersebut tidak sah menurut hukum. Sebab perolehan suara pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya dengan disertai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU Jepara  baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan pasangan Mabrur. Heru menengarai terjadinya kecurangan dan pelanggaran serius yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif, sehingga menguntungkan perolehan suara pasangan Mabrur. Sebaliknya, pasangan Nuranis menjadi pihak yang sangat dirugikan oleh tindakan kecurangan dan pelanggaran tersebut. (Nur Rosihin Ana).

Selasa, 21 Februari 2012

Nuranis Minta Pemungutan Suara Pemilukada Jepara Diulang

Pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (Nuranis), calon bupati/wakil dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, meminta Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jepara melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara.
“Memerintahkan kepada Termohon melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara,” kata Heru Widodo, kuasa hukum pasangan Nuranis saat membacakan pokok permohonan (petitum) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, (21/02/2012) siang.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 5/PHPU.D-X/2012 mengenai perselisihan hasil Pemilukada Kab. Jepara ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi yang terdiri Achmad Sodiki (ketua panel) didampingi dua anggota panel, Harjono dan Anwar Usman. Sidang dihadiri kuasa Pemohon pasangan Nuranis, Heru widodo dkk. Pihak Termohon hadir Ketua KPU Jepara, Muslim Aisha dan jajarannya serta seorang anggota KPU Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Pihak Terkait pasangan Marzuqi-Subroto (Mabrur) diwakili kuasa hukumnya, Umar Ma’ruf dkk.
Nuranis mengajukan keberatan terhadap Berita Acara yang diterbitkan oleh Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara Nomor 6/BA/II/2012 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2012 tertanggal 4 Februari 2012. Dalam lampiran berita acara tersebut, KPU Jepara menetapkan perolehan suara untuk masing-masing calon: Pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (nomor urut 1) memperoleh 222.213 suara; pasangan Kaeron Syariefudin-Ahmad Ja’far (nomor urut 2) 15.926 suara; pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (nomor urut 3) 189.150 suara, dan pasangan Yuli Nugroho-Nuruddin Amin (nomor urut 4) 95.699 suara.
Menurut Heru Widodo, penetapan rekapitulasi tersebut tidak sah menurut hukum. Sebab perolehan suara pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya dengan disertai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU Jepara  baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan pasangan Mabrur. Heru menengarai terjadinya kecurangan dan pelanggaran serius yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif, sehingga menguntungkan perolehan suara pasangan Mabrur. Sebaliknya, pasangan Nuranis menjadi pihak yang sangat dirugikan oleh tindakan kecurangan dan pelanggaran tersebut. “Proses Pemilukada yang dilaksanakan oleh Termohon itu diawali dengan berbagai pelanggaran, baik yang dilakukan oleh Pihak Terkait selaku pasangan calon incumbentmaupun Termohon selaku penyelenggara,” terang Heru.
Heru mendalilkan, pelanggaran yang dilakukan oleh calon incumbent dengan melibatkan Paguyuban Pamong Desa (PPD) Jepara. Wakil Bupati Jepara, Ahmad Marzuqi, bekerjasama dengan PPD menyelenggarakan kegiatan silaturrahim. “Tetapi di dalamnya, mengumpulkan para kepala desa di masing-masing kecamatan. Mereka diarahkan untuk memenangkan pasangan calon incumbent,” lanjut Heru.
Selesai acara, para kepala desa (petinggi) dibagi uang Rp. 100.000, dan untuk aparat desa Rp. 50.000. Melalui PPD dan aparat desa, pasangan Mabrur membagikan stiker kepada warga desa. “Untuk petinggi (kepala desa) diberikan uang operasional sebanyak 1 juta per desa,” kata Heru melanjutkan dalil permohonan pasangan Nuranis.
Sementara itu, pelanggaran yang dilakukan KPU Jepara, dalil Heru, antara lain adanya perubahan daftar pemilih tetap (DPT) yaitu perubahan sebelum dan pada saat menjelang pemungutan suara. “DPT yang ditetapkan Termohon, semula adalah tertanggal 13 Desember 2011. Kemudian, dengan dalih adanya penambahan daftar pemilih yang belum masuk, kemudian dibuat surat keputusan pada tanggal 28 Januari 2012, dan hari H tanggal 29 Januari, Termohon masih membuat ketetapan tentang DPT tambahan yang tidak diketahui oleh kami sebagai pasangan calon peserta pemilukada,” terang Heru mendalilkan.
Selain itu, pasangan Nurani juga mendalilkan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Jepara berupa pencetakan surat suara melebihi kebutuhan. Di sisi lain, terdapat 11 kecamatan justru terjadi kekurangan surat suara.
Kemudian, pelanggaran yang dilakukan oleh petugas KPPS. Pada saat pembukaan TPS, petugas memberikan pengarahan mengenai tata cara pencoblosan kepada pemilih dengan instruksi dengan bahasa Jawa: “Nek nyoblos, siji wae ojo loro, telu, opo papat, mangkeh batal” (Kalau nyoblos satu saja, jangan dua, tiga atau empat, nanti batal).
Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim menasehati pemohon agar menyiapkan bukti-bukti pendukung permohonan. Sidang berikutnya akan digelar pada Kamis depan. (NurRosihin Ana).

Jumat, 17 Februari 2012

Perselisihan Pemilukada Dogiyai: Mahkamah Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Distrik Piyaiye

Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai (KPU Dogiyai) melakukan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Dogiyai di delapan kampung di Distrik Piyaiye, yaitu Kampung Apogomakida, Deneiode, Yegeiyepa, Ideduwa, Kegata, Egipa, Ukagu, dan Kampung Tibaugi, dengan mengikutsertakan tiga pasangan calon yaitu: Thomas Tigi-Herman Auwe, Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay, dan pasangan Natalis Degel-Esau Magay.
Sedangkan metode pemilihan dalam PSU tersebut harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang dikehendaki oleh masyarakat masing-masing kampung di Distrik Piyaiye untuk menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih berlaku di masyarakat setempat.
Demikian putusan perkara Nomor 3/PHPU.D-X/2012 perselisihan Pemilukada Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, yang diucapkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (17/2/2012) bertempat di ruang sidang pleno lt 2 gedung MK. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan.
Mahkamah juga memerintahkan KPU Provinsi Papua, Panwaslukada Dogiyai, dan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan PSU tersebut. Selanjutnya, melaporkan hasil PSU kepada MK paling lambat 90 hari setelah putusan ini diucapkan. Terakhir, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Selain membacakan putusan perkara Nomor 3/PHPU.D-X/2012 tersebut, secara berturut-turut Mahkamah juga membacakan putusan perselisihan Pemilukada Dogiyai yang diajukan pasangan Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay (perkara Nomor 4/PHPU.D-X/2012) dan pasangan Ausilius You-Timotius Mote (perkara Nomor 2/PHPU.D-X/2012).
Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay tidak dapat diterima karena melewati tenggang waktu. Tenggang waktu permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 15/2008, adalah bahwa “permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilukada diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 (tiga) hari setelah Termohon menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada didaerah yang bersangkutan”.
Sedangkan amar putusan untuk perkara Nomor 2/PHPU.D-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Ausilius You-Timotius Mote tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 16 Februari 2012

Menyoal Kriminalisasi Penggunaan Lambang Negara


Penggunaan lambang negara oleh perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan untuk keperluan selain yang diatur dalam UU, bisa dipidana. Hal inilah yang dialami oleh Erwin Agustian dan Eko Santoso. Pengadilan Negeri Purwakarta memvonis 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan kepada Erwin dan Eko karena menggunakan gambar lambang negara (burung garuda) sebagai stempel organisasi.

Merasa hak konstitusionalnya dirugikan, Erwin Agustian, Eko Santoso dkk mengajukan judicial review Pasal 57 huruf c dan d UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 57 huruf c dan d menyatakan, “Setiap orang dilarang: … (c) membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d) menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi didampingi anggota panel Muhammad Alim dan Maria Farida Indrati, pada Kamis (16/2/2012) siang, membuka persidangan perkara Nomor 4/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (Pemohon I), Ryan Muhammad (Pemohon II), Bervilia Sari (Pemohon III), Erwin Agustian (Pemohon IV), dan Eko Santoso (Pemohon V).
Persidangan kali kedua ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. Di hadapan panel hakim konstitusi, Ady Soehatman, kuasa hukum Erwin dan Eko, menyampaikan perbaikan permohonan. Antara lain pada bagian pendahuan, Ady memberikan penegasan mengenai “lambang negara”.
Menambahkan perbaikan yang disampaikan Ady, Victor Santoso Tendiasa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, menyatakan, pada permohonan awal lebih menitikberatkan pada Pancasila. Kemudian, pada persidangan pendahuluan (19/1) lalu, ketua panel hakim kala itu, Hamdan Zoelva, menyarankan Pemohon membedakan antara “lambang negara” dengan “Pancasila”. “Saat ini sudah kita perbaiki khusus mengenai lambang negara,” kata Victor.
Selain itu, Pemohon dalam perbaikan permohonan juga menjelaskan adanya kriminalisasi akibat penggunaan lambang negara. “Kedua, menjelaskan gimana kriminalisasinya,” lanjut Victor.

Sebelum mengakhir persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti yang diajukan Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-5. Kemudian menyarankan Pemohon menyiapkan saksi/ahli untuk memperkuat dalil permohonan. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 09 Februari 2012

Rumah Minimalis Tipe 36 Beratkan Warga dan Pengusaha

Tempat tinggal merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang untuk menjaga ketenangan dan kelangsungan hidupnya. Tempat tinggal mempunyai fungsi penting bagi kehidupan manusia sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan dan berlindung dari segala macam bahaya. Selain itu, fungsi tempat tinggal yaitu sebagai tempat untuk melakukan kegiatan yang sifatnya pribadi (privacy), tempat berkumpul, pendidikan keluarga serta tempat yang nyaman untuk membina hubungan persaudaraan (silaturrahim) maupun persahabatan.
Dengan demikian, memiliki rumah atau tempat tinggal menjadi impian setiap orang. Untuk mewujudkan impian tersebut, dibutuhkan kemampuan finansial yang relevan dengan daya beli tipe rumah.
Memiliki tempat tinggal adalah hak asasi setiap orang. Hal ini sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Berlakunya ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU 1/2011), menjadi hambatan khususnya bagi  tiga orang warga, yaitu Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi dan Erlan Basuki, untuk memiliki rumah sebagai tempat tinggal sesuai dengan daya beli mereka. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menyatakan “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”
Merasa dirugikan oleh ketentuan dalam materi UU tersebut, Ketiganya lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diterima oleh panitera MK dengan Registrasi Nomor 12/PUU-X/2012. Para Pemohon mendalilkan, gaji mereka yang kurang dari 2 juta hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 menyebabkan para Pemohon tidak dapat membeli atau membangun rumah. Sebab, untuk membeli rumah dengan luas minimal 36m2 tersebut, para Pemohon harus mengeluarkan dana yang diasumsikan minimal seharga Rp. 135.000.000. Hal ini menurut para Pemohon, yang tidak sesuai dengan pendapatan mereka.
Para Pemohon mendalilkan, setiap orang berhak untuk mendapatkan rumah/tempat tinggal dan hidup di suatu tempat yang aman. Hak atas perumahan merupakan tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Selain mereka bertiga, permohonan judicial review Pasal 22 ayat (3) (UU 1/2011) juga dilayangkan oleh Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) yang dalam hal ini diwakili Eddy Ganefo (Ketua Umum) dan Anton R. Santoso (Sekretaris Jenderal). Panitera MK merigistrasi permohonan ini dengan nomor 14/PUU-X/2012.
APERSI adalah asosiasi para pelaku usaha pengembang perumahan dan permukiman untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki misi membangun perumahan rakyat yaitu perumahan sederhana/sangat sederhana. Menurut APERSI, Pembangunan perumahan dengan luas lantai minimal 36 meter persegi menghambat gerak pengembang dan target pembangunan rumah sederhana sehat tidak terpenuhi. Di sisi lain, kebutuhan terhadap rumah murah dan rumah dengan tipe 21 meter persegi yang merupakan rumah tumbuh, masih merupakan kebutuhan yang nyata.
Sebagai pengembang pembangunan rumah sederhana dengan ukuran di bawah 36 meter persegi, APERSI sangat keberatan dengan berlakunya ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011. APERSI mendalilkan, ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi financial karena tidak applicable dan feasible dengan perhitungan ekonomi perumahan dan apabila secara objektif ditelaah dan dianalisa berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31/PMK.03/2011 (yang merevisi PMK Nomor 36/PMK.03/2007) memiliki ketentuan yang berbeda.
Dalam Pasal 2 PMK Nomor 31/PMK.03/2011 disebutkan bahwa kebijakan pembebasan Pajak Pertambahah Nilai (PPN) untuk Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai dengan fasilitas kredit, baik bersubsidi ataupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. Harga jual tidak melebihi Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah); c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

Minimalis Tipe 21
Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi dan Erlan Basuki dalam tuntutannya (petitum) meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan APRESI dalam petitum-nya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. APERSI juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 yang berbunyi ”Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang jika tidak diartikan dengan luas lantai paling sedikit 21 meter persegi.
 
Nur Rosihin Ana