>

Harmoni...

Jakarta, September 2010.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 07 Maret 2013

Mendobrak Kerahasiaan Bank


"Abghadhul halâli ‘indallâhi at-thalâqu”
Perkara halal yang paling dibenci di sisi Allah adalah perceraian. (Al-Hadits)


Impian dan harapan dalam membina mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, seketika sirna ketika badai perceraian mengancam keutuhan perkawinan. Perceraian seringkali menimbulkan implikasi yang bukan hanya menimpa pasangan suami atau istri. Terlebih lagi jika hasil pernikahan yang sah telah membuahkan keturunan (anak).

Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian seringkali berakhir dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang berselisih. Misalnya masalah kekayaan bersama (harta gono-gini). Harta yang diperoleh selama perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 35 ayat (1) menyatakan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama“. Pasal 37 menyatakan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kriteria harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”

Kisruh masalah harta gono-gini dihadapi Magda Safrina saat mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ke Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dalam gugatan, ibu tiga anak ini mencantumkan sejumlah harta gono-gini dalam bentuk tabungan dan deposito atas nama suaminya. Namun, Suami Safrina dalam jawaban gugatan menyangkalnya.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh kemudian minta penjelasan dari pihak bank. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang Aceh Besar dan Bank BRI Cabang KCP Peunayong Banda Aceh dalam jawaban tertulisnya menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan dikarenakan menyangkut kerahasiaan data nasabah. Sedangkan Kepala Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam dalam keterangan saat hadir dalam sidang perceraian Safrina, menyatakan, deposito suami Safrina senilai Rp. 600 juta. Namun deposito tersebut telah dicairkan beberapa hari sebelum Safrina gugat cerai suaminya. Pihak bank juga menolak ketika Hakim Mahkamah Syari’iyah meminta keterangan lebih lanjut mengenai aliran dana.

Kerahasiaan bank menjadi asas bagi ketiga bank tersebut untuk menolak memberikan keterangan. Hal ini membuat Safrina tidak tahu pasti berapa besar tabungan, deposito dan aset produk perbankan lainnya yang disimpan oleh suaminya. Mahkamah Syar’iyah pun kesulitan menentukan jumlah harta gono-gini.

Seorang diri, tanpa didampingi kuasa hukum, Safrina mendatangi MK untuk mengujikan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang menyatakan, “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi.” Menurut Safrina, ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Namun, ketentuan tersebut juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan perkara pidana, perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, kepentingan tukar-menukar informasi antar bank, dan atas persetujuan nasabah.

Dari pengecualian (mustatsnayât) tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Oleh karena itu, maka keadilan akan terpenuhi jika data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama (gono-gini).

Keadilan rupanya berpihak kepada Safrina. Setelah tiga kali menjalani proses persidangan, pada persidangan keempat, ikhtiar yang ditempuh Safrina terbayarkan. Senyum ceria menghiasi wajah Safrina ketika permohonannya dikabulkan. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.”

(Nur Rosihin Ana)



Editorial Majalah Konstitusi Edisi Maret 2013 No. 73

Selasa, 05 Februari 2013

Tiada lagi Larangan Penggunaan Lambang Negara


Lambang negara Garuda Pancasila, bendera Negara Sang Merah Putih dan Bahasa Indonesia, merupakan jati diri dan identitas Bangsa Indonesia. Keempat simbol negara tersebut merupakan cerminan dari kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara lain. Selain itu, menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu perangkat hukum yang mengatur mengenai keempat simbol tersebut sehingga terjadi persamaan interpretasi mengenai simbol-simbol negara dimaksud.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UULambang Negara). Bentuk, ukuran, dan warna Lambang Negara Garuda Pancasila digali dari unsur kebudayaan, filosofis, dan ideologis (landasan idiil) yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini sebagaimana diurai dalam Pasal 48 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 46, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf e, dan Pasal 49 huruf c UULambang Negara.
Lambang negara Garuda Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan Pancasila sebagai milik dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Tidak ada alasan untuk menjauhkan lambang Garuda Pancasila dari jangkauan rakyat sebagai pemiliknya, baik secara fisik maupun dengan rekayasa peraturan perundang-undangan, sepanjang digunakan sebagai wujud atau eksploitasi dari rasa nasionalisme dan kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia.
Namun, realitas mengatakan sebaliknya. Penggunaan lambang negara oleh warga negara, justru berbuah penjara. Misalnya yang menimpa Erwin Agustian dan Eko Santoso. Kecintaan dan nasionalisme sebagai warga negara Indonesia, menjadi spirit bagi Erwin dan Eko untuk menggunakan lambang negara Garuda Pancasila. Namun idealisme Pancasila dan nasionalisme Indonesia yang ditunjukkan oleh Erwin dan Eko, justru mengantarkan dua orang buruh di Purwakarta ini ke bilik jeruji besi. Keduanya menjadi korban atas pelaksanaan UULambang Negara.
Bersama dengan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Ryan Muhammad, Erwin Agustian dan Eko Santoso mengajukan permohonan pengujian materi UU Lambang Negara ke Mahkamah Konstitusi. Materi yang diujikan yaitu Pasal 57 huruf c dan huruf d UULambang Negara.
Pasal 57 huruf c menyatakan, “Setiap orang dilarang membuat Lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.”
Pasal 57 huruf d menyatakan, ”Setiap orang dilarang menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Larangan tersebut diperkuat dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 69 huruf c yang menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang: … c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Para Pemohon berdalil, lambang negara Garuda Pancasila yang identik dengan Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan lambang negara tidak dapat dibatasi pada sebagian kalangan saja dengan tidak mengenyampingkan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk merendahkan lambang negara Garuda Pancasila itu sendiri.
Pasal 57 huruf c dan d adalah tidak sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Seharusnya lambang negara harus “membumi” dan dimasyarakatkan kepada seluruh warga negara Indonesia, agar mengakar dan tidak jauh atau bahkan terpisahkan dari bangsa Indonesia sendiri sebagai pemiliknya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai media dan cara atau model, kreativitas atau upaya sepanjang tidak merusak atau merubah bentuk lambang Negara itu sendiri.
Ketentuan Pasal 57 huruf c yang memuat larangan membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara adalah tidak sesuai dengan semangat kebebasan berpikir, berkehendak, serta berserikat dan berkumpul untuk mengekspresikan kehendaknya di muka umum, dengan tidak mengenyampingkan tindakan-tindakan pihak tertentu yang bermakna sebagai klaim miliknya sendiri atau golongan tertentu. Demikian pula dengan Pasal 57 huruf d, larangan menggunakan lambang Negara untuk keperluan lain selain yang diatur dalam undang-undang ini adalah tidak sesuai dengan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Milik Pejabat
Ketentuan dalam UU Lambang Negara tersebut justru menjauhkan masyarakat dari lambang negaranya sendiri. Lambang negara seolah-olah hanya milik pejabat Negara atau kelompok tertentu saja. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28Iayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.
Memperkuat dalil, para Pemohon pun menghadirkan Prof. Dr. Asvi Warman Adam. Asvi pernah menjadi saksi ahli dalam kasus buruh di Purwakarta yang stempelnya menggunakan lambang Garuda. Asvi juga saksi ahli dalam kasus Timnas PSSIyang menggunakan lambang Garuda pada kaos seragamnya. Menurut Asvi, pasal yang mengancam pidana bagi pengguna lambang yang tidak sesuai ketentuan UUadalah hal yang tidak dapat diterima. Kasus Erwin dan Eko, dua buruh di Purwakarta, ternyata perkara tersebut muncul atas aduan organisasi masyarakat pesaing kedua buruh tersebut. Artinya ketentuan mengenai lambang hanya dipergunakan sebagai alat untuk persaingan politik. “Persoalan Garuda Pancasila ini juga digunakan untuk kepentingan politik, untuk kepentingan menyingkirkan, menindas, atau menentang lawan politik,” kata Asvi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2012.
Sementara dalam gugatan terhadap Timnas PSSI, putusan PN tidak kunci atau apa yang ada Mahkamah Konstitusi, dan itu kan ada gambar Garuda Pancasila,” lanjut Asvi.
Mahkamah berpendapat, tanda dalam perspektif ilmu tanda (semiotik) adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Secara umum terdapat tiga bentuk hubungan antara penanda (signifier) dengan petanda (signified), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah sesuatu yang dipilih menjadi penanda karena keserupaan bentuknya dengan objek yang diwakili. Indeks adalah sesuatu yang dipilih menjadi penanda karena mengisyaratkan objek yang diwakilinya. Sedangkan simbol adalah penanda yang dipilih karena disepakati secara konvensional atau lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk mewakili objek tertentu.
Objek petanda bukan hanya bersifat fisik, melainkan meliputi juga nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi. Negara Indonesia sebagai suatu kompleks suku bangsa, nilai, dan perilaku; atau sebagai kompleks fisik/benda/alam dan budaya, mutlak memerlukan sebuah penanda untuk menyebut secara ringkas/mudah keberadaan kompleks suku bangsa, nilai, dan perilaku dimaksud. Tanda yang dipergunakan untuk mewakili negara Indonesia, dengan demikian haruslah mencerminkan kompleksitas yang dikandung oleh negara Indonesia.
Bukan Ikon
Burung Garuda Pancasila bukan sebuah ikon karena tidak memiliki kemiripan/keserupaan secara langsung dengan konsep negara Indonesia. Garuda Pancasila dipilih mewakili bangsa-negara Indonesia berdasarkan kesepakatan rakyat Indonesia. Tanda yang muncul dari kesepakatan bersama ini lebih tepat disebut sebagai simbol, atau salah satu variannya, yaitu lambang. Dalam lambang Garuda Pancasila tersebut terkandung keseluruhan identitas bangsa-negara Indonesia, yang meliputi pula nilai-nilai luhur yang dicita-citakan bangsa-negara Indonesia. Namun keterwakilan semua bentuk identitas negara-bangsa Indonesia ke dalam bentuk Garuda Pancasila, tidak berarti bahwa keragaman yang dimiliki tidak boleh dipergunakan secara sendiri-sendiri. Setiap identitas bagian negara-bangsa Indonesia tetap dapat dipergunakan secara terpisah.
Lambang mewakili keseluruhan negara-bangsa Indonesia, sehingga individu warga negara Indonesia sebagai bagian dari negara-bangsa Indonesia tersebut, memiliki hak untuk mempergunakan lambang negara atau identitas lain dari negara, maupun mempergunakan bentuk-bentuk identitas lainnya secara terpisah maupun bersama-sama.
Lambang negara yang mengandung makna tentu harus dihormati dan dihargai secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Meskipun dalam konteks tertentu makna suatu tanda selalu bersifat relatif, yang artinya dapat berubah seturut waktu. Namun upaya melanggengkan nilai-nilai negara-bangsa adalah hal yang harus diupayakan sebaik mungkin demi keberlangsungan keberadaan negara-bangsa bersangkutan.
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mewariskan keberadaan lambang negara (baik dari segi nilai maupun wujud fisiknya) adalah dengan membakukan standar bentuk lambang negara dimaksud. Kebakuan bentuk lambang memang tidak dapat menjamin bahwa makna lambang tersebut akan ikut ajeg atau tidak berubah. Begitu pula sebaliknya, bahwa keajegan makna lambang negara tidak menjamin tidak berubahnya bentuk lambang negara. Namun demikian, dalam rangka melanggengkan makna lambang negara, sekecil apapun usaha yang dilakukan negara, menurut Mahkamah hal tersebut memang sepatutnya dilakukan.
Kekang Ekspresi
Mahkamah lebih lanjut dalam pendapatnya menyatakan, larangan pada ketentuan Pasal 57 huruf c UUlambang negara, tidak dimaksudkan untuk mengekang hak-hak warga negara dalam menggunakan lambang negara Indonesia. Penggunaan bentuk-bentuk yang sama atau mirip lambang negara sebagai lambang perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan, memunculkan potensi kerugian bagi warga negara secara keseluruhan. Kemiripan atau kesamaan bentuk lambang antara negara dengan perseorangan atau organisasi lain di luar negara akan memunculkan anggapan bahwa negara dan pihak bukan negara memiliki kemiripan atau kesamaan dalam berbagai hal, sehingga menimbulkan kerancuan.
Pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya UUtersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Pasal 57 huruf d UU adalah larangan yang diikuti ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 69 huruf c. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara kedua pasal tersebut sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, maka pertimbangan hukum Mahkamah terhadap Pasal 57 huruf d tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap Pasal 69 huruf c.
Alhasil, Mahkamah dalam putusannya menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan Nomor 4/PUU-X/2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/1/2013). Mahkamah menyatakan Pasal 57 huruf d dan Pasal 69 huruf c UULambang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

KONSTITUSI Edisi Februari 2013 No.72


Selengkapnya putusan pengujian UU Lambang Negara bisa dibaca di sini

Keterwakilan Perempuan dalam UU Pemilu Legislatif Multitafsir


Catatan Perkara

Keterwakilan perempuan di parlemen yang tidak seimbang dibanding dengan laki-laki, menyebabkan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan terabaikan dalam proses menganalisa situasi mulai dari level komunitas, mengidentifikasi dan menentukan prioritas masalah, perencanaan serta pengalokasian anggaran pembangunan (the right to development). Umumnya pola pikir dan cara pandang para perencana dan penentu kebijakan, masih dipengaruhi stereotip terhadap perempuan sebagai subordinasi, ibu rumah tangga atau ‘pekerja domestik’.

Terhambatnya akses perempuan ke dunia publik mengakibatkan berlanjutnya ketertinggalan perempuan di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Selain itu, berlanjutnya perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, pada akhirnya berdampak pada peringkat kemajuan pembangunan manusia Indonesia secara menyeluruh.

Kebijakan untuk memenuhi kuota minimum 30% keterwakilan perempuan dalam paket UU Politik (UU Partai Politik dan Pemilu Legislatif), sangat ditentukan oleh internal partai politik, terutama yang berkaitan dengan rekrutmen, kaderisasi, mekanisme pengambilan keputusan berkaitan dengan penetapan nomor urut dan seleksi caleg, penempatan caleg di daerah pemilihan. Umumnya partai politik merekrut ‘siapa saja’, bahkan ada partai politik besar yang secara terbuka mengakui terpaksa merekrut para isteri dan kerabatnya untuk ‘mengisi’ ketentuan Tindakan Khusus Sementara (TKS) “sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar bakal calon (balon), sebagai syarat untuk bisa menjadi partai politik peserta pemilu” (Pasal 8 ayat (2)e dan Pasal 55 UU Pemilu). Dengan demikian, maka rekrutmen perempuan sebagai caleg hanya sekedar sebagai pelaksanaan memenuhi kebijakan TKS untuk menjadi peserta pemilu atau ‘diambil suaranya’ oleh partai politik dan tidak dilakukan secara tulus dan sunggug-sungguh sebagai upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).

Ketentuan Ambigu

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif), yang mengatur tentang “Kepengurusan Partai” dan “Perempuan Bakal Calon Legislatif”, menggunakan kata-kata yang ambigu (tidak jelas), sehingga menimbulkan multitafsir dan tidak imperatif. Demikian anggapan sejumlah aktivis perempuan yang mengajukan permohoan yudicial review materi UUPemilu Legislatif ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan mereka diregister oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 20/PUU/XI/2013 pada Selasa, 5 Februari 2013.

Para Pemohon terdiri dari 9 badan hukum privat dan 22 perorangan. Kesembilan badan hukum privat dimaksud yaitu, Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik (PD Politik), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Yayasan LBH APIK Jakarta, Lembaga Partisipasi Perempuan, Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat (PPKM), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat (Institute for Policy and Community Development Studies-IPCOS), Women Research Institute (WRI), dan Yayasan MELATI‘83’. Sedangkan Pemohon perorangan yaitu, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Suhartini Hadad, Nursyahbani Katjasungkana, S.H., Soelistijowati Soegondo, SH., Sjamsiah Achmad, M.A., Atashendartini Habsjah, Titi Anggraini, Kentjana Indrishwari S, Magdalena Helmina M.S., Dr. Marwah M Yunus Bandie, MM., Rotua Valentina, S.E., S.H., M.H., Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Eni Khairani, Hj. Hairiah, SH, MH., Hana Hasanah Fadel Muhammad., Hj. Noorhari Astuti, S. Sos., Nurmawati Dewi Bantilan, Poppy Maipauw, Poppy Susanti Dharsono, Vivi Effendy, Dra. Siti Nia Nurhasanah, dan Wahidah Suaib.

Materi UUPemilu Legislatif yang diujikan yaitu kata “menyertakan” pada Pasal 8 ayat (2)ekata “memuat” pada Pasal 55, frasa “....bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan nomor 1 atau 2 atau 3 dan seterusnya...” pada Penjelasan Pasal 56 ayat 2, dan kata “mempertimbangkan” pada Pasal 215 b. Selengkapnya pasal-pasal yang diuji berbunyi:

Pasal 8 ayat (2) huruf e, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;”

Pasal 55, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.”

Pasal 56 ayat (2), “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Kemudian Penjelasan Pasal 56 ayat (2): “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.”

Pasal 215, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan. c. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.”

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut berkaitan dengan keterpilihan dan keterwakilan perempuan dalam UUPemilu Legislatif. Kata dan frasa tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban untuk dipatuhi. Selain itu, dapat ditafsirkan berbagai arti yang berbeda-beda.

Kepengurusan atau daftar bakal calon partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UUPemilu, hanyalah “memuat” nama-nama perempuan, tanpa disertai seleksi kreteria yang jelas berdasarkan kapasitas dan kompetensi sebagai wakil rakyat, serta tanpa ada sanksi hukum yang mengikat. Kata “memuat” pada Pasal 55, berasal dari kata “muat”, yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai: “ada ruang untuk ditempati; dapat berisi; ada di dalamnya, mengandung.” Kata “memuat” mengandung konotasi negatif, karena dapat merujuk kepada benda/obyek. Sedangkan “menyertakan” pada Pasal 8 ayat (2)e berasal dari kata “serta” yang didefinisikan sebagai: “turut, ikut, bersama dengan, menemani, mengiringi, pendamping.”

Berdasarkan definisi tersebut di atas, menurut para Pemohon, kata “menyertakan” lebih tepat digunakan dalam Pasal 55, karena sesuai dengan makna kata dasar “serta”. Kata “menyertakan” dalam konteks tersebut merujuk kepada orang/subyek, bukan benda/ obyek.

Demikian juga dengan frasa “mempertimbangkan keterwakilan perempuan”. Apakah ‘perempuan’ di sini menunjuk kepada calon yang dipilih? Jika merujuk calon yang dipilih, bagaimana jika tidak ada calon perempuan yang mendapatkan perolehan suara yang sama dengan calon pria? Apakah hal tersebut berarti calon perempuan harus diikutsertakan sebagai calon harus dipilih? Bukankah “dipertimbangkan” bisa berarti dapat diterima atau ditolak? Apakah hal ini berarti akan ada suara pemilih perempuan yang akan dibuang? Berapa jumlah pemilih perempuan yang diperlukan agar dapat dianggap bahwa keterwakilan mereka sudah “dipertimbangkan”? Seluruh pertanyaan ini tidak terjawab dalam UUPemilu Legislatif.

Selanjutnya, ketentuan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) menimbulkan salah mengerti, karena salah menafsirkan isi Pasal 56 ayat (2) pada frasa “setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Hal ini berarti “dari setiap 3 nama bakal calon, bisa lebih dari 1 (satu) perempuan bakal calon. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal tersebut dikatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya....”. Penggunaan kata “atau” berarti dalam setiap 3 (tiga) bakal calon hanya boleh 1 (satu) orang perempuan bakal calon; di tempat urutan 1, atau 2, atau 3 dst. Jadi, Penjelasan Pasal tersebut malah mengurangi/membatasi jumlah perempuan bakal calon. Dengan demikian, menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) salah tafsir dan menyalahi makna dari TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, sehingga perlu dihapus.

Hukumnya Wajib

Para Pemohon berharap Mahkamah memandang pemberian TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan merupakan diskriminasi positif, karena memberikan jaminan kepada perempuan untuk memiliki peluang keterpilihan lebih besar dalam Pemilu. Kemudian, ketentuan TKS sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam UUPemilu Legislatif perlu dipertegas menjadi wajib hukumnya, disertai sanksi bagi yang melanggar dan diubah dengan kata-kata yang lebih mengikat secara hukum, supaya efektif dan menghasilkan wakil rakyat (laki-laki dan perempuan) yang kompeten dan mampu menghasilkan kebijakan publik dan program pembangunan yang lebih adil bagi rakyat semuanya.

Para Pemohon berpendapat, tidak adanya pengaturan yang tegas untuk menyertakan perempuan dalam Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55 dan Pasal 215 UUPemilu Legislatif, mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional mereka untuk mendapatkan perlakuan, pengakuan, kedudukan, dan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, serta hak untuk tidak didiskriminasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28Iayat (2) UUD 1945. Oleh sebab itu, para Pemohon dalam petitum memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 b UUPemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)


Tuntutan Pembentukan Dapil Para Diaspora


Sejak pelaksanaan Pemilu di era Reformasi yaitu Pemilu Tahun 1999 hingga 2009, hak suara warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri (WNI LN) dalam Pemilu Legislatif, dimasukkan sebagai perolehan suara Dapil DKI Jakarta II. Hal ini dinilai merugikan hak-hak konstitusional mereka. Merasa diperlakukan tidak adil, sejumlah WNILN mengujikan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UUPemilu Legislatif) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inti permohonan, menuntut pembentukan daerah pemilihan luar negeri (Dapil LN).
Menanggapi permohonan, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi UUPemilu Legislatif pada (21/1). Persidangan untuk perkara yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/PUU-XI/2013 ini, diajukan oleh sejumlah WNI LN yang berasal daerah berbagai daerah di Indonesia. Mereka yaitu, Priyo Puji Wasono (Washington DC), Deyantono Kok Young (Taiwan), Ilhamsyah Abdul Manan (Georgia USA), Nira Bagoes (Toronto), Fify Manan (USA), Renny Damayanti Mallon (San Fransisco), Duta Mardin Umar (Washington DC), Rudy Octavius Sihombing (Taiwan), Muhammad Al Arif (Washington DC), Rizki Nugraha Hamim Penna (Qatar), Syamsiah Hady (Sydney, Australia), Amin Hady (Sydney, Australia), Santa Imelda Paulina Tenyala (Brussels, Belgia), Ismail Umar (Doha, Qatar), Arief Amiharyanto (Doha, Qatar), Dahliana Suryawinata (Den-Haag, Belanda), Hermansyah (Belanda), Tony Thamsir (Taiwan), Firman Mangasa Simanjuntak (Taiwan), Danny Tandela (California, USA), Andry Antoni (Washington DC), Kasuma Juniarni (Korea Selatan), Joko Mulyono Slamet (Korea Selatan), Charles Bonar Pardomuan (Doha-Qatar), Etty Prihartini Theresia (Sanaa, Yaman), Rosalia Adywarman Arby (Jeddah, Saudi Arabia), Aifah Adywarman Arby (Cairo, Mesir), Benyamin Rasyad (Houston, USA), Eli Warti Maliki (Jeddah, Arab Saudi), Heri Sunarli Hansuana (Doha-Qatar), dan Rizaldi Fadilla (Doha-Qatar).
Pasal 22 ayat (1) UUPemilu Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan anggota DPRadalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota.”
Pasal 22 ayat (5) UUPemilu Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Ibnu Setyo, mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka yang dijamin Pasal 28H UUD 1945 terlanggar dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) dan (5) UU Pemilu Legislatif. Sebab, ketentuan dalam pasal ini tidak mencantumkan Dapil LN. Hal ini sangat potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Akibatnya, kepentingan para Pemohon sebagai WNI LN secara khusus tidak terwakili di DPRRI.
“Lahirnya pasal dan frasa dalam UU a quo yang tidak mencantumkan adanya Dapil Luar Negeri telah menyebabkan kerugian atau paling tidak menimbulkan potensi kerugian konstitusional Para Pemohon, karena tidak secara khusus terwakili kepentingannya sebagai WNI yang berdomisili di luar negeri dalam keterwakilan di DPR RI,” ujar Ibnu Setyo di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Ibnu menjelaskan, konsekuensi dari hak untuk memilih adalah keterwakilan secara adil dalam Pemerintahan khususnya oleh wakil rakyat di DPR RI. Namun kesamaan kedudukan dan hak untuk diwakili dalam pembentukan daerah pemilihan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu. “Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UU a quo tidak mengakomodasi secara khusus keberadaan pemilih di luar negeri yang secara de facto tidak berdomisili di provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo,” jelas Ibnu yang mewakili 31 perseorangan WNI yang berdomisili di luar negeri.

Beda Kepentingan
Lampiran UUPemilu Legislatif pada poin 11 menyebutkan, Dapil DKI Jakarta II meliputi Kota Jakarta Pusat plus Luar Negeri, dan Kota Jakarta Selatan. Lampiran UU Pemilu Legislatif ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penentuan Dapil. Sebab, bagaimana mungkin WNI LN dianggap sebagai bagian dari penduduk DKIJakarta, karena faktanya mereka berasal daerah daerah yang berbeda-beda di Indonesia.
WNI LN seharusnya mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga kepentingannya terwakili. Penempatan kepentingan WNILN secara bersamaan dengan warga Provinsi DKI Jakarta merupakan hal yang salah. Sebab kepentingan politik dan kebutuhan atas keterwakilan antara warga DKIJakarta dengan WNI LN jelas berbeda.
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif yang selanjutnya dirumuskan dalam lampiran UU Pemilu Legislatif poin 11, merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa menggunakan metode penghitungan yang jelas untuk mendapatkan jumlah kursi di setiap provinsi dan Dapil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan prinsip kesetaraan. Fakta menunjukkan, metode penentuan Dapil sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (4) UUPemilu Legislatif mengakibatkan beberapa provinsi mengalami over-representation (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya). Di sisi lain, beberapa provinsi mengalami under-representation (jumlah kursi kurang dari yang seharusnya).

Dapil LN
Data Kementerian Luar Negeri RItahun 2011, menunjukkan WNIyang berdomisili di luar negeri berjumlah 4.457.743 jiwa. Jumlah tersebut bisa mencapai hingga 7 juta jiwa jika ditambahkan dengan WNI LN yang tidak melapor ke perwakilan Indonesia di LN.
Jumlah WNI LN tersebut cukup besar melebihi jumlah penduduk Kota Jakarta Pusat (898.883 jiwa) dan Penduduk Kota Jakarta Selatan (2.057.080 jiwa). Kontribusi jumlah WNI LN yang cukup besar ini berbanding terbalik dengan keterwakilan dan perhatian anggota DPR-RIyang berada di Dapil DKIJakarta II.
Sudah selayaknya WNI LN memiliki Dapil tersendiri yang terpisah dari wilayah DKIJakarta. Keterwakilan Dapil LN dengan menggunakan Dapil DKI Jakarta IIsangat tidak efektif karena, pertama, konstituensi WNI LN cukup besar sehingga sudah selayaknya dibentuk Dapil LN.
Kedua, terjadinya voters disenfranchisement karena keterwakilan konstituen WNILN yang cukup besar, tidak ada di DPR-RI. Para wakil rakyat yang terpilih mewakili Dapil DKIJakarta IItidak tampil mewakili kepentingan WNILN. Buktinya, wakil rakyat dari Dapil DKIJakarta IItidak pernah melakukan temu konstituensi kepada WNILN. Mereka juga tidak pernah menyuarakan isu-isu penting yang relevan dengan kepentingan WNI LN.
Ketiga, munculnya sikap apolitis WNI LN. Voters Tournout atau jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS tergolong rendah. Hal ini disebabkan tidak efektifnya keterwakilan bagi WNI LN. Bagi konstituen WNI LN, tidak ada pengaruhnya menggunakan hak pilih karena tidak adanya wakil di lembaga legislatif yang dapat menjadi saluran penyampaian aspirasi.
Berdasarkan dalil-dalil (adillah) tersebut di atas, para Pemohon yang menganggap diri mereka sebagai Diaspora Indonesia di LN ini sangat berharap kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonan mereka. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: “Daerah pemilihan anggota DPRadalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota, atau luar negeri.”
Selain itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (5) UUPemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak mencantumkan Daerah Pemilihan Luar Negeri sebagai daerah pemilihan yang terpisah dengan Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.

Gayo Tuntut Satu Dapil
Masalah pembagian daerah pemilihan (Dapil), juga memicu rasa keterwakilan masyarakat Gayo, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di DPRRIdan DPRAceh. Hal ini mendorong mendorong 9 orang perwakilan masyarakat Suku Gayo mengajukan pengujian atas Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif.
Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim menggelar sidang untuk perkara yang teregistrasi dengan Nomor 6/PUU-XI/2013 pada Senin (28/1/2013). Pada persidangan pendahuluan ini, Mursid, salah seorang dari Pemohon yang juga merupakan anggota DPD dari Aceh, hadir langsung di gedung MK didampingi kuasa hukumnya, Yance Arizona.
Yance mengklaim hilangnya keterwakilan masyarakat minoritas Gayo secara nyata disebabkan karena adanya pembagian Dapil Nanggroe Aceh Darussalam Idan Nangroe Aceh Darussalam IIyang telah memecah empat kabupaten yang dihuni masyarakat Suku Gayo. “Pemecahan menjadi 2 Dapil telah mempersulit keterwakilan Suku Gayo. Dengan tidak adanya wakil, maka tidak ada perhatian dari DPRRI, ” tegas Yance.
Keempat kabupaten tersebut adalah Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes dan Bener Meriah. Idealnya menurut Pemohon, keempat kabupaten yang berpenduduk suku Gayo, tidak dipecah dalam 2 Dapil yang berbeda, melainkan tetap disatukan pada 1 Dapil, agar seluruh suara Suku Gayo dapat lebih terfokus pada para wakilnya, yang otomatis akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat Gayo secara komprehensif dan konsisten.
Mursid kemudian mencontohkan, dengan terpecahnya suara Suku Gayo di 2 Dapil yang berbeda, telah menyebabkan tidak ada satupun wakil dari Suku Gayo yang duduk di DPRpada Dapil 2. Sementara dari Dapil 1, Suku Gayo hanya memperoleh 1 kursi dari total 7 kursi yang harus diperebutkan. Nasib yang sama juga terjadi di tingkat DPRD. Ia menambahkan, dari 10 kursi yang tersedia di DPRAceh, suku Gayo hanya mampu mengirimkan 1 orang untuk mewakili masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi saat penentuan kursi DPD yang dimiliki Mursid. Ia harus bersengketa ke MK di tahun 2009, untuk mempertahankan haknya guna mewakili daerahnya. Karena itu, Mursid mencurigai, terjadinya pemecahan 2 Dapil yang membelah suara Suku Gayo lebih bernuansa geo-politis, yang bertujuan dengan sengaja menghilangkan keterwakilan suku Gayo di parlemen, baik pusat maupun daerah.

Tiga Dapil Solusi Terbaik
Ditemui usai persidangan, Mursid yang mewakili 8 orang Pemohon lainnya menawarkan solusi pemecahan terbaik bagi pemenuhan rasa keterwakilan masyarakarat Gayo. Menurutnya, pembagian 3 Dapil di Provinsi Aceh Darussalam (NAD), yang terdiri dari Dapil NAD I, Dapil NAD II, dan Dapil NAD III, dapat menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan. Dalam hal ini, 4 kabupaten yang dihuni Suku Gayo, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, akan terfokus berada dalam 1 Dapil, yakni Dapil NAD II. Ia menyakini, dengan komposisi Dapil demikian, akan mempermudah Masyarakat Gayo memiliki wakil di DPRD dan DPR RI sehingga dapat menyuarakan kepentingannya.
Sementara itu, dalam nasihatnya, Majelis Hakim meminta Mursid dan kuasanya Yance untuk kembali mempertegas permohonan dengan menjawab pertanyaan, apakah dengan tidak terfokusnya masyarakat Gayo dalam 1 Dapil, maka akan menghilangkan hak keterwakilan di parlemen serta mereduksi pengakuan terhadap budaya lokal suku minoritas Gayo. (Lulu Anjarsari, Nur Rosihin Ana, Juliet)

KONSTITUSI Edisi Februari 2013 No.72

Rabu, 30 Januari 2013

Pasangan Asri: Nama Ganda Cawabup Pamekasan Berkekuatan Hukum Tetap


Pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan nomor urut 3, Achmad Syafii-Halil (Asri) selaku Pihak Terkait dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Pamekasan Tahun 2013, dalam eksepsinya menyatakan permohonan yang diajukan pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) hampir seluruhnya menguraikan tentang nama ganda calon wakil bupati (cawabup). Nama ganda dimaksud yaitu nama Khalil Asyari dan Halil yang dimiliki oleh cawabup nomor urut 3.

Persoalan tersebut, kata Syafi’i yang bertindak sebagai kuasa hukum pasangan Asri, telah diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1B Pamekasan Nomor 191/Pdt.P/2012/PN.Pks Tanggal 1 November 2012. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa Halil juga mempunyai nama lain yaitu Muhammad Khalil Asyari. “Penetapan pengadilan negeri ini sudah inkracht, mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga harus dihormati,” dalil Syafi’i.

Selain itu, lanjut Syafi’i, nama ganda Khalil Asyari dan Halil sudah diputus oleh oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Nomor 30/DKPP-PKE-I/2012 tanggal 6 Desember 2012. DKPP dalam salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa penetapan PN kelas 1B Pamekasan tersebut di atas, sudah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu menurut Syafi’i, objectum litis (objek perkara) permohonan pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) tidak memenuhi syarat permohonan perselisihan hasil Pemilukada. Dengan demikian, menurut Syafi’i, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk memeriksanya. “Menurut Pihak Terkait, Mahkamah tidak berwenang memeriksa perkara a quo.

Hal tersebut disampaikan Syafi’i di hadapan persidangan Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva, dan Muhammad AlimRabu (30/01/2013) siang bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan untuk perkara Nomor 6/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 yang diajukan oleh pasangan Kompak ini, beragendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait dan keterangan ahli.

Pada persidangan kali kedua ini, pasangan Kompak selaku Pemohon, menghadirkan dua orang Ahli, yaitu Irmanputra Sidin dan Yusril Ihza Mahendra. Irmanputra menerangkan tentang pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang beberapa kali pernah diungkapkannya dalam persidangan di MK. Irmanputra juga memaparkan tentang maklumat DKPP.

Menurutnya, Maklumat DKPP tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk merubah keputusan penyelenggara Pemilu. Pada batas-batas tertentu mungkin ada sebuah kejadian luar biasa, bisa saja, tetapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar hukum,” terangnya.

Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra menerangkan tentang kejelasan identitas atau nama yang melekat pada diri seseorang, ketika yang bersangkutan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam hal ini mencalonkan diri sebagai bupati atau wakil bupati. Pasal 26 UUD 1945 memuat norma mengenai siapa saja yang menjadi warga negara Indonesia. “Warga negara sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 26 UUD 1945 itu adalah individu-individu atau orang perorangan yang wajib memiliki identitas, seperti nama, tempat, dan tanggal lahir, nama orang tua, dan lain-lain yang semuanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau paling tidak dengan surat keterangan lahir yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang,” kata Yusril.

Menurut Yusril, nama dalam akta kelahiran sangat penting untuk menerbitkan berbagai dokumen kependudukan atau dokumen kewarganegaraan yang lain, seperti kartu penduduk, paspor. Karena ketentuan mengenai akta kelahiran dahulu hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing, maka secara faktual banyak orang Indonesia asli yang lahir tanpa pernah mengurus akta kelahiran.

Mengacu Identitas KTP

Identitas seseorang, terang Yusril, paling mudah diketahui dari kartu tanda penduduknya. Dengan demikian, apabila seseorang diwajibkan untuk mengisi berbagai formulir, termasuk formulir pendaftaran sebagai calon peserta Pemilukada, maka nama yang dicantumkan dalam formulir tersebut haruslah sama dengan nama yang tertera di dalam kartu tanda penduduknya, dan harus sama pula dengan dokumen-dokumen kependudukan lainnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengisi sebuah formulir pencalonan bupati atau wakil bupati dengan menggunakan nama Halil, sementara dalam kartu tanda penduduknya menggunakan nama Muhammad Khalil Asyari, maka secara hukum orang yang bernama Halil adalah berbeda dengan orang yang bernama Muhammad Khalil Asyari.

Dengan demikian, jika nama ganda Halil dengan Muhammad Khalil Asyari adalah nama untuk satu orang yang sama, maka yang bersangkutan harus menyelesaikan identitas dirinya dalam seluruh dokumen kependudukan yang dimilikinya melalui permohonan penetapan kepada pengadilan. “Setelah ada penetapan perubahan atau penyesuaian dua nama pada satu orang yang sama, maka pejabat administrasi kependudukan berkewajiban untuk melakukan perubahan atau memberikan catatan perubahan atas nama yang bersangkutan di dalam dokumen-dokumen kependudukan,” tandas Yusril. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 29 Januari 2013

Berdalil Pelanggaran TSM, Kompak Minta Pemungutan Suara Pemilukada Kab. Pamekasan Diulang


Pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) mendalilkan pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 diwarnai pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Pelanggaran tersebut menurut Kompak,  berpengaruh terhadap terpilihnya pasangan calon. Oleh karena itu, Kompak meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pamekasan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS)  se-Kabupaten Pamekasan.

“Memerintahkan kepada Termohon untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 di seluruh TPS se-Kabupaten Pamekasan yang diikuti oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati kabupaten pamekasan, pasangan calon nomor urut 1 yaitu pemohon, pasangan calon nomor Urut 2, tanpa pasangan calon nomor urut 3 Drs. Ahmad Syafii dan Khalil.”

Hal tersebut disampaikan Abdul Rochiem Asnawi, kuasa hukum Kompak dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 yang digelar di MK pada Selasa (29/01/2013) siang. Sidang pendahuluan untuk perkara Nomor 6/PHPU.D-XI/2013 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Kosntitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva, dan Muhammad Alim.

Pasangan Kompak dalam permohonannya ke MK menyatakan keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur Nomor  04/Kpts/KPU-Prov-014/tahun 2013 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 Tanggal 12 Januari 2013 dan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 05/KptsKPU-Prov-014/Tahun 2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan Tahun 2013 Tanggal 12 Januari 2013. KPU Provinsi Jawa Timur dalam keputusannya menetapkan pasangan nomor urut 3, Achmad Syafii-Khalil Asyari (Asri) sebagai pemenang Pemilukada Kabupaten Pamekasan dengan perolehan 250.336 suara atau 54,05%.

Abdul Rochiem Asnawi menyatakan penetapan pasangan Kompak sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati, melanggar peraturan perundang-undangan. “Karena nama bakal calon wakil bupati, yaitu Khalil adalah tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam hasil penelitian surat pencalonan beserta lampirannya,” terang Rochiem.

Perubahan nama Halil menjadi Moh. Khalil Asyari ditetapkan oleh Pengadilan Pamekasan Nomor 191/Pdt.P/2012/PN.Pks Tanggal 1 November 2012 yang menyebutkan: “Pemohon di samping bernama Halil juga dikenal dengan nama lain yaitu Moh. Khalil Asy’ari.” Menurut Rochiem, perubahan nama calon wakil bupati nomor urut 3, Halil menjadi Moh. Khalil Asyari, bertentangan dengan pasal 52 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Di samping itu, lanjutnya, memasukkan nama Khalil Asyari sebagai cawabup tanpa dasar hukum. Sebab dalam Keputusan Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Nomor 30/DKPP-PKE-I/2012 tanggal 6 Desember 2012, tidak ada perintah yang menyatakan pasangan Asri memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan Tahun 2013 dengan nomor urut 3. “Dengan demikian, secara faktual, Termohon melanggar peraturan perundang-undangan.”

Suara Siluman

Rochiem juga mendalilkan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Januari 2013, karena jumlah jumlah suara sah dan tidak sah melebihi jumlah surat suara yang diterima oleh setiap Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). “Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) adalah 618.492 dan terbukti Termohon mengeluarkan suara siluman, yaitu sebesar 22.240,” terang Rochiem.

Rinciannya, surat suara yang terpakai sebanyak 445.446, surat suara tidak terpakai 172.714, surat suara yang dikembalikan oleh pemilih 332, dan jumlah total sebanyak 618.492. Surat suara sah untuk ketiga calon 440.723, suara tidak sah 8.229, jumlah 448.952. Perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 sebanyak 6.905, nomor urut 2 sebanyak 205.902, dan nomor urut 3 memperoleh 250.336. Jumlah surat suara sah ketiga calon sebanyak 463.143, surat tidak sah 8.229, jumlah 471.372. Jadi terdapat selisih              22.420.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, pasangan Kompak melalui kuasanya Abdul Rochiem Asnawi, memohon kepada Mahkamah agar membatalkan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 04/Kpts/KPU-Prov-014/tahun 2013 dan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 05/KptsKPU-Prov-014/Tahun 2013 tersebut di atas. Kompak juga memohon kepada Mahkamah agar mendiskualifikasi pasangan Asri dan memerintahkan KPU Kabupaten Pamekasan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS. Kemudian, memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur dan Panwaslu untuk mengawasi pemungutan suara ulang tersebut sesuai dengan kewenangannya. Terakhir, melaporkan hasil pemungutan suara kepada MK selambat-lambatnya 60 hari setelah pengucapan putusan.

Sementara itu, KPU Provinsi Jawa Timur melalui kuasa hukumnya, Robikin Emhas, membenarkan dalil pasangan Kompak ihwal tidak terpenuhinya syarat pasangan nomor urut 3, Achmad Syafii-Khalil Asyari (Asri), sebagai pasangan calon. “Tidak terpenuhinya syarat pasangan calon, pada mulanya adalah benar.” Kata Robikin.  

KPU Kabupaten Pamekasan, terang Robikin, semula menyatakan pasangan Asri memenuhi syarat sebagai bakal pasangan calon. Setelah ituinformasi dari masyarakat menerangkan bahwa identitas diri Khalil Asyari tidak sesuai dengan identitas di KTP maupun di ijazah. Menindaklanjuti informasi, KPU Pamekasan melakukan konfirmasi ke pihak terkait, hingga kemudian menetapkan pasangan Asri tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon.

Dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon, pasangan Asri melaporkan seluruh komisioner KPU Kab Pamekasan ke DKPP dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Putusan pengadilan memperjelas identitas dan nama Khalil yang tertera beda di ijazah, KTP, dan SK pengangkatannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten Pamekasan. “Sehingga secara hukum telah mendapatkan keabsahannya,” dalil Robikin.

Sedangkan putusan DKPP berisi pemberhentian tetap kepada lima komisioner Kab. Pamekasan. “Akhhirnya kemudian, KPU Jawa Timur melakukan tindak lanjut dengan, pertama, menerbitkan SK pemberhentian terhadap lima komisioer. Dan kemudian selanjutnya adalah mengambil alih penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Pamekasan,” tandas Robikin. (Nur Rosihin Ana)

Pemilukada Mamberamo Tengah: Mahkamah Tolak Permohonan Eremen-Leonard


Dalil-dalil yang mendasari permahononan keberatan Pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga (Eremen-Leonard) terhadap hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng), tidak terbukti menurut hukum. Menurut Mahkamah, tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012.

Walhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Eremen-Leonard. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang pengucapan putusan Nomor 1/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012, Selasa (29/01/2013) di ruang Pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi.

Dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard tersebut yaitu mengenai tidak adanya pemungutan suara di Kampung Dogobak, Binime, Yagabur, dan Kampung Pelanme yang kesemuanya masuk dalam Distrik Kelila. Menurut Eremen-Leonard, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mamteng hanya membagi dan membuat Berita Acara untuk enam TPS di empat kampung tersebut. Selain itu, KPU Mamteng juga mengubah perolehan suara para pasangan calon, sehingga rekapitulasi versi PPD Kelila berbeda dengan rekapitulasi KPU Mamteng.

KPU Mamteng membantah dalil tersebut dan menyatakan pemungutan suara di distrik Kelila menggunakan sistem Noken. Selain itu, saksi-saksi yang diajukan Pemohon tidak menerangkan secara terperinci mengenai tidak dilaksanakannya pemungutan suara di empat kampung tersebut. Para saksi juga tidak menjelaskan secara terperinci mengenai adanya perbedaan hasil rekapitulasi.

KPU Mamteng juga membantah dalil Eremen-Leonard mengenai adanya rekayasa di Distrik Megambilis. Sebaliknya, KPU Mamteng menyatakan justru Eremen-Leonard yang berkolusi dengan Sekretaris dan seorang Anggota PPD Megambilis untuk membuat rekapitulasi perolehan suara fiktif dalam Formulir Model DA-KWK.KPU, Model DA.1-KWK.KPU, dan Lampiran Model DA.1- KWK.KPU yang ditandatangani oleh Sekretaris dan Anggota PPD Distrik
Megambilis tersebut. Rekapitulasi fiktif tersebut ditolak KPU Mamteng karena dibuat secara tidak sah.

Begitu pula dalil mengenai rekapitulasi tingkat PPD Distrik Eragayam dan tingkat Kabupaten yang tidak memasukkan hasil dari TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Dalil ini bukan hanya dibantah oleh KPU Mamteng, tapi juga oleh pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Ham-Yonas) selaku Pihak Terkait. KPU Mamteng menyatakan enam belas TPS di Distrik Eragayam telah direkapitulasi, yang meliputi juga TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Hasil rekapitulasi PPD Distrik Eragayam menunjukkan perolehan suara pasangan calon nomor urut 4 adalah 24 suara. Hasil rekapitulasi PPD tersebut dijadikan dasar penghitungan dalam rekapitulasi tingkat kabupaten.

Dengan demikian, tidak terbukti dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard mengenai pelanggaran yang cukup serius dalam Pemilukada Mamteng. “Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, tidak ditemukan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012,” kata Hakim Konstitusi maria Farida Indrati membacakan Pendapat Mahkamah.

Sementara itu, untuk permohonan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng yang diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilukada Mamteng Tahun 2012.

Mahkamah dalam amar putusan Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 menyatakan permohonan Demi-Naftali tidak dapat diterima. Mahkamah dalam konklusinya menyatakan Demi-Naftali tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sehingga mahkamah tidak lagi mempertimbangkan mengenai eksepsi KPU Mamteng, tenggang waktu pengajuan permohonan, dan pokok permohonan. “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” kata ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Nur Rosihin Ana).

Selengkapnya putusan permohonan Eremen-Leonard di sini
Selengkapnya putusan permohonan Demi-Naftali di sini

Senin, 28 Januari 2013

APINDO: Tidak Adil Pengusaha Dibebani Kewajiban Tanpa Batasan Waktu


Perumusan masa kedaluwarsa selama waktu 2 (dua) tahun pada dasarnya merupakan kebutuhan hukum atas keadilan dan kepastian serta dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jangka waktu 2 tahun adalah waktu yang cukup bagi pekerja/buruh untuk menuntut pembayaran haknya. Namun jika pekerja/buruh tidak memanfaatkan waktu tersebut, maka berarti pekerja/buruh sudah melepaskan segala haknya. “Sangat tidak adil untuk dibebankan kepada pengusaha dan tidak pula adil seorang pengusaha dibebani kewajiban-kewajiban tanpa ada batasan waktu, tentu akan membebani pengusaha sepanjang masa. Hal ini tentu akan menimbulkan hukum yang tidak berkeadilan dan menyampingkan kepastian.”

Ketua Umum Pengurus Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi mengatakan hal tersebut saat menjadi Pihak Terkait dalam sidang pengujian Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/1/2013). Sidang kali keempat untuk perkara yang diregisterasi pada 3 Oktober 2012 oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 ini mengagendakan mendengarkan keterangan APINDO.

Memperkuat pernyataan tersebut di atas, Sofjan Wanandi menjelaskan tujuh alasan (dalil). Pertama,  hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh harus ada kepastian hukum. Kedua, untuk memperoleh kepastian hukum perlu ditetapkan hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan kerja. Ketiga, ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan untuk memberikan kepastian hukum atas segala keputusan atau penetapan, dan sampai kapan keputusan atau penetapan tersebut dapat digugat di pengadilan. Keempat, pemberian kesempatan bagi pekerja/buruh untuk menolak atau melakukan gugatan terhadap perlakuan yang dirasakan tidak adil apabila terjadi PHK sebagaimana diatur oleh Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, adalah jaminan bahwa hak-hak mendasar pekerja/buruh di tempat bekerja dilindungi oleh negara. Kelima, bagi pekerja/buruh yang tidak melakukan tuntutan melampaui batas waktu yang diberikan oleh UU, maka dengan sendirinya dianggap telah melepaskan haknya, adalah suatu yang wajar demi adanya kepastian hukum bagi para pihak. Keenam, berkaitan dengan pembayaran upah dan hak-hak lain dalam hubungan kerja, selalu diatur adanya ketentuan kedaluwarsa. Ketujuh, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Berdasarkan dalil tersebut, APINDO meminta Mahkamah agar menolak permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan, ini tentu pendapat kami daripada pengusaha, untuk dapat menolak pengujian Pemohon seluruhnya, atau permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima,” pinta Sofjan.

Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Anwar Usman, menyatakan proses persidangan uji materi UU Ketenagakerjaan dianggap cukup. Panel Hakim meminta para pihak yaitu Pemohon, Pemerintah, DPR, agar membuat kesimpulan dan diserahkan langsung ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin, 4 Februari 2013 pukul 16.00 WIB. “Baiklah, kalau demikian, maka seluruh persidangan mengenai Perkara Nomor 100/PUU-X/2012 ini dianggap cukup,” kata Ketua Pleno Achmad Sodiki.

Untuk diketahui, permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Marten Boiliu. Marten adalah petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan, yaitu di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM). Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu 2 tahun. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 23 Januari 2013

Refly Harun: DPD Berwenang Menyetujui RUU


Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 tidak lagi abslout setelah dirumuskannya Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. Artinya, tidak semua rancangan undang-undang (RUU) dibahas bersama hanya oleh DPR dan Presiden, melainkan ada pula RUU yang pembahasannya mengikutsertakan DPD.

Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 (tahun 1999) menyatakan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Kemudian Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”

Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 merupakan pengecualian (lex specialis) terhadap Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Dengan pengecualian tersebut, maka Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 harus dikaitkan secara sistematis dengan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.

“Persetujuan RUU yang disebut dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga dengan demikian dilakukan oleh tiga institusi, yaitu DPR, DPD, dan Presiden atau tripartit.”

Demikian disampaikan oleh Refly Harun (Prinsipal Pemohon) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/1/2013). Sidang pleno uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), ini dilaksanakan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.

Persetujuan Tripartit

Pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, terang Refly, bertujuan untuk dicapainya persetujuan bersama. Dengan demikian, pembahasan dan persetujuan UU bukanlah kegiatan yang terpisah menurut Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945.

Persetujuan adalah produk dari proses pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, terkait dengan Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyertakan DPD dalam pembahasan RUU, maka secara sistematis ketentuan pasal tersebut harus dibaca: “Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan DPD untuk mendapat persetujuan bersama.”

Pasal 1 angka 1 UU P3 menyatakan, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”

Dari kelima tahapan tersebut, lanjut Refly, DPD berhak untuk mengikuti tiga tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan, sama seperti kewenangan DPR saat ini. “Akan tetapi, DPD hanya terbatas pada mandat yang termaktub dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,” dalil Refly.

Sementara itu, Presiden justru berhak mengikuti lima tahapan tersebut, termasuk tahapan pengesahan dan pengundangan yang tidak dimiliki oleh DPR maupun DPD. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan RUU, DPD harus diperlakukan sama dengan DPR dan Persiden sepanjang terkait Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. “DPD dengan demikian  mengikuti semua tingkat pembahasan RUU yang diatur dalam undang-undang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan tersebut. Karena dalam pembahasan tingkat pertama, DPD tidak diikutkan dalam membahas daftar inventarisasi masalah,” terang Refly.

Sidang kali ini merupakan proses pemeriksaan terakhir sebelum pengucapan putusan. Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD meminta kepada para pihak untuk membuat kesimpulan dan diserahkan secara langsung kepada Kepaniteraan MK paling lambat pada Rabu 30 Januari 2013 pukul 16.00 WIB.

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 untuk Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan untuk  Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).

Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).

DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)  UU P3  telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat  (1) dan  (2)  serta  Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR. Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 22 Januari 2013

Dua Cabup Akui Kemenangan Ham-Yonas dalam Pemilukada Mamberamo Tengah


Dua calon bupati (cabup) Mamberamo Tengah (Mamteng) yaitu David Pagawak dan Daniel Tabuni mengakui kemenangan pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Ham-Yonas) dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) Mamteng Tahun 2012. “Saya akui kemenangan yang diperoleh Saudara Nomor Urut 2,” kata David Pagawak di hadapan panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD (Ketua Panel) Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, Selasa (22/1/2013) siang di ruang pleno lt 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

David dalam keterangannya menyatakan, pada 10 November 2012, para calon sepakat untuk siap menerima kemenangan maupun kekalahan dalam Pemilukada Mamteng. Kemudian setelah pemungutan suara, David pun dengan lapang dada menghormati hasil Pemilukada yang dimenangi oleh pasangan Ham-Yonas. Bahkan David berharap pelantikan bupati-wakil bupati terpilih dipercepat karena alam dan masyarakat Mamteng merestuinya. “Jadi, walaupun Bapak kalah, tetap menghormati hasil pemilukada?” tanya Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. “Ya,” Jawab David.

David Pagawak merupakan bupati pertama kabupaten pemekaran Mamteng. David hadir di persidangan MK sebagai saksi pasangan Ham-Yonas (Pihak Terkait). Pada Pemilukada Mamteng Tahun 2012, David Pagawak berpasangan dengan Simon Gombo maju sebagai cabup/cawabup dengan nomor urut 1.

Senada dengan David, Daniel Tabuni juga menghormati suara mayoritas masyarakat Mamteng. Daniel Tabuni dan Lukas Polona maju dalam Pemilukada Mamteng 2012 diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). “Kami mengakui dan menghormati suara yang terbanyak, yaitu atas nama, nomor urut 2 atas nama R. Ham Pagawak dengan Yonas Kenelak,” tandas Daniel.

Panel Hakim Konstitusi juga mendengar keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh KPU Mamteng (Termohon), antara lain keterangan Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Eragayam, Kelila, Megambilis. Ketua Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Eragayam, Kelice Yikwa, menerangkan proses rekapitulasi hasil perhitungan suara di Distrik Eragayam pada 14 Desember 2012. Kelice kemudian mengantar hasil rekap tingkat Distrik Eragayam ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng) tanpa mengkutsertakan rekap perolehan suara 3 tiga TPS, yaitu TPS 1 Kampung Asbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok.

Kelice menuturkan, hasil rekap 3 TPS ini diantar langsung ke KPU Mamteng oleh kepala desa, PPS dan warga masyarakat masing-masing kampung. “Mereka bawa ke KPU langsung, sehingga kami ketemu 3 TPS ini di ibu kota (Mamteng), Kobakma,” kata Kelice Yikwa.

Sebelum rapat Pleno KPU Mamteng digelar pada 19 Desember 2012, malam hari pada 18 Desember 2012, PPD Distrik Eragayam melakukan rekap 3 kampung tersebut berdasarkan rekap tingkat TPS. Hasil rekap, 3 kampung tersebut mendukung pasangan calon nomor urut 5 Kalvin Bilin-Thimotius Karoba. “Sehingga suara 3 kampung ini kami masukkan ke Kandidat Nomor 5 bukan kandidat Nomor 4. Sehingga hasil rekapan itu yang diplenokan di KPU,” terang Kelice.

Albert Onna, Anggota PPD Kelila dalam keterangannya menyatakan melakukan rapat pleno rekapitulasi suara pada 17 Desember 2012. Hasilnya, nomor urut 1 pasangan David Pagawak-Simon Gombo memperoleh 862 suara, nomor urut 2 pasangan Ham Pagawak-Yonas Kenelak 5.071 suara, nomor urut 3 pasangan Daniel Tabuni-Lukas Polona 29 suara, nomor urut 4 pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga 341 suara, dan nomor urut 5 pasangan Kalvin Bilin-Thimotius Karoba 2.616 suara. “Kemudian pada tanggal 18 (Desember 2012), kami membawa hasil ini kepada KPU (Mamteng) dan kami serahkan untuk diplenokan,” kata Albert.

Ketua PPD Megambilis, Alpius Wenda, menyampaikan hasil rekap di tingkat distrik Megambilis. Hasilnya, nomor urut 1 tidak mendapatkan suara alias nol, nomor urut 2 memperoleh 1.086 suara, nomor urut 3 nol, 4 sebanyak 390 suara, nomor urut 5 sebanyak 872 suara.

Persidangan kali ini merupakan sesi terakhir pemeriksaan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng. Panel Hakim menyarankan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan akhir dan diserahkan langsung ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Rabu, 23 Januari 2013 pukul 16.00 WIB.

Untuk diketahui, perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012 ini diajukan oleh pasangan calon dan pasangan bakal calon. Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 1/PHPU.D-XI/2013 diajukan oleh pasangan calon Eremen Yogosam-Leonard Doga. Sedangkan Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mamteng yang dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi persyaratan. (Nur Rosihin Ana).