Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Salah satu
implementasi dari bentuk negara kesatuan adalah partai politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita dalam memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota
masyarakat, bangsa dan negara, sehingga keberadaannya haruslah memperkokoh
keberadaan NKRI. Oleh karenanya partai politik harus bersifat nasional, artinya
partai politik harus terwakili secara geografis, maupun persebaran penduduknya.
Secara garis besar, partai politik bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi politik dari masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai
dengan etika dan budaya politik yang tumbuh dan berkembang di Indonesia guna
mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga keutuhan NKRI, dan
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terhadap anggapan para pemohon terkait ketentuan
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik (UU Parpol), menurut Pemerintah, keinginan para pemohon
untuk menghapuskan frasa “bersifat nasional” adalah langkah yang kurang
bijaksana. Sebab apabila dicermati secara seksama, jiwa terbentuknya NKRI
adalah nasionalisme yang meliputi semangat kebangsaan dari Sabang sampai
Merauke.
“Selain itu, apabila frasa ‘bersifat nasional’
ditiadakan, maka setiap daerah akan berlomba-lomba untuk membentuk partai lokal
yang secara otomatis akan semakin memunculkan corak kedaerahan dan meningkatkan
kompleksitas sistem kepartaian di Indonesia dan secara tidak langsung akan
semakin mempertajam sifat sukuisme yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Demikian keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh
Kabag Perencanaan Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen
Dalam Negeri Republik Indonesia (DitjenKesbangPol Depdagri RI), Bahrum Alamsyah
Siregar dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/11/2012) siang. Sidang
kali ketiga untuk perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 94/PUU-X/2012
ihwal pengujian materi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg), beragendakan mendengar keterangan Pemerintah,
DPR, dan saksi/ahli dari pemohon serta Pemerintah.
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua
panel) didampingi anggota panel Harjono, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi,
Hamdan Zoelva, dan Muhammad Alim, lebih lanjut Bahrum Alamsyah Siregar
menyatakan ketentuan frasa “bersifat nasional” yang diujikan para pemohon, pada
prinsipnya tidak menutup kemungkinan terbentuknya partai lokal. Pemerintah
sangat memahami bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama,
dan kemajemukan budaya yang beraneka ragam, sehingga keberadaan ketentuan
tersebut tidak memengaruhi pelaksanaan asas-asas demokrasi, termasuk di
dalamnya aspirasi dan partisipasi masyarakat yang terwakili dalam partai
politik lokal. Contohnya, dibentuknya partai politik lokal di Aceh yang
bersumber kepada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dimana UUPA merupakan
salah satu bentuk dari ciri otonomi yang bersifat khusus yang juga diakui dalam
UUD 1945.
Terhadap anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan Pasal
3 ayat (2) huruf c UU Parpol dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c dan d UU Pileg, menurut
Pemerintah persyaratan tersebut adalah sebagai upaya untuk memperkuat dan
mengefektifkan sistem presidensiil yang dilakukan melalui 4 hal yaitu, pertama
mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana. Kedua, mendorong
terciptanya kelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel. Ketiga,
mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel. Keempat,
mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. “Lebih
lanjut persyaratan tersebut merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, yaitu
DPR dan presiden,” tegas Bahrum.
Pada persidangan kali ini para pemohon menghadirkan
dua orang ahli yaitu M. Rifqinizamy Karsayudi dan Agung Wijaya. Rifqinizamy
dalam keterangannya menyatakan, ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (2)
huruf c UU Parpol telah membangun cara berpartai politik yang menguras energi,
tenaga bahkan dana. Bagi partai politik yang dalam pemilu ke pemilu hanya
mendapatkan suara signifikan di satu atau beberapa daerah tertentu, mestinya
diberikan pilihan untuk mengeksiskan partainya pada daerah dimana daya dukung
rakyat atas partai itu tinggi dalam pemilu. “Partai politik demikian tidak
perlu dipaksa untuk memiiki kepengurusan di seluruh Indonesia dengan mekanisme
yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dimaksud,” dalil
Rifqizamy.
Menurut Rifqizamy, syarat pendirian partai politik
dalam ketentuan pasal tersebut berpotensi secara faktual menganulir eksistensi
partai-partai politik yang mendulang suara signifikan di daerah tertentu saja.
Jika partai politik demikian tidak dapat memenuhi syarat sebagai partai politik
dan tidak dapat mengikuti pemilu selanjutnya sebagaimna dipersyaratkan oleh
ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pileg, maka masyarakat
yang dalam pemilu sebelumnya menyalurkan aspirasinya melalui partai politiknya
tersebut “dipaksa” oleh ketentuan dalam norma pasal-pasal yang diujikan, untuk
memberikan suaranya melalui saluran partai politik lain. Dalam posisi ini,
bukan hanya kedaulatan, kebhinekaan dan otonomi politik masyarakat di daerah
yang direnggut sebagaimana amanah Pasal 18 ayat (1), (2), dan (5) UUD 1945,
melainkan juga telah melanggar prinsip konstitusi berupa kesetaraan dan
kemerdekaan serta hak warga negara dalam pemerintahan sebagaimna ditegaskan
dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2, dan Pasal 28E ayat (3) UUD
1945.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU Pileg
ini diajukan oleh Jamaludin dan Andriyani. Materi yang diujikan yaitu Pasal 1
angka 1 dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol); dan Pasal 8 ayat (2)
huruf b, c dan d UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU Pileg).
Pasal 1 angka 1 UU Parpol menyatakan, “Partai
Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”
Jamaludin dan Andriyani merasa dirugikan hak
konstitusionalnya karena kepentingan politiknya terbatasi dengan syarat
kepartaian yang bersifat nasional. Keduanya kehilangan hak untuk mendirikan
partai politik (parpol) yang berbadan hukum dan berbasis masyarakat di daerah
yang masing-masing mempunyai kekhususan.
Konstruksi Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Partai
Politik dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pileg, telah menutup kemungkinan
lahirnya partai politik yang hanya berada di satu provinsi atau di satu
kabupaten/kota saja. Semestinya, UU Pileg membuka kemungkinan untuk
menghadirkan parpol berskala lokal dengan tidak memaksakan persyaratan
kepengurusannya secara nasional sebagai prasyarat mengikuti pemilu. (Nur
Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
0 komentar:
Posting Komentar