Jumat, 05 Agustus 2011

Ahli Pemerintah: MK Tidak Berwenang Uji UU Ratifikasi Piagam ASEAN

M. Fajrul Falaakh, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (3/8).
Permohonan uji Undang-Undang No 38/2008 tentang Pengesahan Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) ke Mahkamah Konstitusi merupakan error in subjectum litis. “Karena perjanjian internasional tentang badan hukum publik internasional yakni ASEAN Charter diperlakukan sama secara formal dan material dengan undang-undang,” ungkap M. Fajrul Falaakh, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011.   
Fajrul berpendapat, UU 38/2008 yang berisikan ratifikasi perjanjian internasional (berupa Piagam ASEAN) tersebut, tidak dapat disamakan dengan undang-undang biasa. Menurutnya, hal tersebut bukanlah original intent (maksud awal) dari pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang perjanjian internasional.
Bahkan, ia bekesimpulan, MK tidak berwenang menguji UU 38/2008. Sebab, Konstitusi ataupun perundang-undangan lainnya tidak memberi kewenangan secara eksplisit kepada MK untuk menguji undang-undang ratifikasi. “Begitu pula MA (Mahkamah Agung) ataupun PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” tuturnya. Ia menegaskan, penyelesaian sengketa terkait Piagam ASEAN telah ditentukan tersendiri dalam Piagam tersebut, yakni dalam Pasal 24 hingga Pasal 28.
Menurut dia, pewadahan perjanjian internasional kedalam bentuk undang-undang hanyalah sebagai ‘kemasan’ saja. “Kemasan (dalam rangka) administrasi kenegaraan untuk luar negeri,” ungkapnya. Ia pun lalu mengingatkan agar dalam mengkaji perkara ini, jangan terjebak dalam formalitas saja. Karena menurutnya, pada substansinya, UU 38/2008 tersebut adalah perjanjian internasional. Dan, perjanjian internasional bukanlah kewenangan MK untuk mengujinya.
Jikalau MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Fajrul, akan menjadi prseden baru dalam penegakan hukum, baik pada tataran nasional maupun internasional. “Pertama kalinya pengadilan nasional membatalkan perjanjian internasional,” ujarnya. Ahli lainnya, Soemadi Brotodiningrat, menambahkan, jikapun nanti MK membatalkan UU tersebut, maka hal itu tidak otomatis memutus keterikatan Indonesia terhadap perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN.
Atas keterangan ahlinya itu, Fajrul pun sempat dihujani pertanyaan oleh para Hakim Konstitusi. Para Hakim Konstitusi banyak menyoroti pandangan Fajrul yang menyatakan bahwa undang-undang ratifikasi berbeda dengan undang-undang yang biasanya diuji oleh MK. Salah satu pertanyaan dilontarkan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Saat itu Hamdan bertanya tentang posisi undang-undang ratifikasi dalam hierarki perundang-undangan sebagaiamana diatur dalam UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam jawabannya, Fajrul pun mengaku belum bisa menjelaskan secara gamblang atas pertanyaan ini. “Kita perlu diskusi tentang itu,” jawabnya. Yang jelas, menurutnya, undang-undang ratifikasi bukanlah undang-undang sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Soemadi berpendapat, manfaat dan keuntungan yang diambil dari keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN lebih besar dibandingkan jika Indonesia tidak ikut serta. “Peran dan kontribusi ASEAN sangat signifikan,” ungkapnya. Belum lagi jika ditilik dari sudut hubungan diplomatik Indonesia di tingkat internasional. “Menambah bobot Indonesia dalam percaturan internasional.”
Ia juga membantah pernyataan bahwa pasar tunggal sangat erat hubungannya dengan neoliberalisme. Sebaliknya, menurutnya, pasar tunggal membuka kompetisi yang lebih fair dan mempererat hubungan antar negara sekawasan. “Saya tidak melihat kecenderungan sekarang ini mengarah pada free fight competition,” katanya. “Yang nampak justru kerja sama dan persaingan yang semakin rule based.”
Serbuan Barang Impor
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga sempat menghadirkan dua orang saksi. Mereka adalah Cupitno dan Muhamad Fadlil Kirom. Cupitno, seorang mantan karyawan di perusahaan biskuit, mengeluhkan dampak kebijakan pasar terbuka. Ia menuturkan, perusahaannya mengalami penurunan produksi mulai 2008 sampai 2010. Hingga akhirnya, 300 karyawan yang bekerja diperusahaan tersebut di PHK. Penyebab menurunya produksi, kata dia, disebabkan tidak lakunya barang. “Karena adanya produk luar yang lebih menarik dan harga terjangkau,” jelasnya.
Nasib serupa dialami pula oleh Muhamad Fadlil Kirom, petani bawang merah di Brebes. Ia mengungkapkan, petani bawang merah lokal semakin hari semakin kalah oleh serbuan bawang impor. Menurutnya, petani bawang secara nasional se-Indonesia telah merugi sekitar Rp 14 Triliun. Angka ini dia dapat dari berbagai sumber, diantaranya pemberitaan media massa dan data Badan Pusat Statistik. “Adanya bawang merah impor betul-betul merugikan,” ungkapnya. “Petani bawang merah akan mati dilumbung sendiri.”
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Selasa (23/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Rencanannya, Pemerintah akan menghadirkan beberapa ahli lagi. (Dodi/mh)

0 komentar:

Posting Komentar