Senin, 09 Mei 2011

Pemerintah Nilai PHK Karyawan Hotel Papandayan Bandung Tak Tepat

Jakarta, MKOnline – Berdalih renovasi untuk meningkatkan kualitas Hotel Papandayan Bandung dari bintang empat menjadi bintang lima, berakibat di-PHK-nya karyawan. Padahal, di antara karyawan ada yang sudah bekerja selama 20 tahun di hotel tersebut.
Di antara mereka yang di-PHK, Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih dan Bambang Mardiyanto. Ketiganya mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker). Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).”
Pada Senin (9/5/2011), untuk kali ketiga MK menggelar sidang yang dimohonkan oleh Asep Ruhiyat dkk. Sidang Pleno MK yang dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi dan Ahli Pemohon.
Di hadapan Majelis Hakim, Sunarno, Kuasa Hukum Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyatakan, pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh, serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah PHK yang semena-mena, maka Pemerintah melalui UU Tenaker telah mengatur bahwa pengusaha tidak dapat melakukan PHK tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah batal demi hukum,” tegas Sunarno
Sunarno yang menjabat Kepala Biro Hukum Kemenakertrans ini menambahkan, sebagaimana diketahui, Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Saat ini, lembaga tersebut telah terbentuk di seluruh Indonesia.

Larangan PHK
Ketentuan dalam UU Tenaker mengatur tentang  larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Selain itu, mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mem-PHK, beserta besaran hak-hak pekerja buruh yang terkena PHK serta proses penyelesaian hubungan kerja.
Sebelum pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terang Sunarno, maka maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja, serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. “Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” urainya.
Mengenai hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, besarannya berbeda antara perusahaan tutup karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur) dengan perusahaan tutup karena perusahaan tersebut melakukan efisiensi. Pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa, maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Sedangkan bagi pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, maka berhak atas uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Adanya perbedaan besaran hak tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pekerja buruh yang di-PHK karena perusahaan tutup, merugi atau keadaan memaksa atau (force majeur) dan perusahaan tutup karena alasan lain.
Tak Tepat
Tindakan PHK dengan alasan efisiensi perusahaan saat terjadi renovasi Hotel Papandayan Bandung, menurut Pemerintah, dapat dimungkinkan operasional perusahaan tersebut berhenti. Namun terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tersebut tutup. “Sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah tidak tepat,” tegas Sunarno.
Namun, Menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker telah menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak terbukti. Karena yang terjadi adalah pengusaha yang dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan Bandung, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai, para Pemohon dapat melakukan upaya hukum yang tersedia. Sehingga menurut Pemerintah, hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas keberlakuan norma UU Tenaker.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon Majelis Hakim Konstitusi agar menolak seluruh permohonan atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Selain itu, menyatakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Namun demikian, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya,” kata Sunarno berharap.  (Nur Rosihin Ana/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5369

0 komentar:

Posting Komentar