Penetapan alokasi kursi dalam lampiran Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pileg)
tidak sistematik. “Jadi, tampaknya penetapan jumlah kursi adalah dilakukan
secara acak dan tidak menunjukkan ada satu metode yang digunakan.” Demikian
dikatakan Didi Achdijat dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu
(13/12/12) siang. Sidang kali keempat untuk perkara 96/PUU-X/2012 ihwal Pengujian
Pasal 22 ayat (4) dan lampiran UU Pileg, ini beragendakan mendengar keterangan
Ahli. Persidangan dilaksanakan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai
oleh Moh. Mahfud MD.
Kalaupun ada metode alokasi kursi yang digunakan
dalam UU Pileg, kata Didi, metode tersebut sangat tidak stabil. Sebab perubahan
kursi tidak mengakibatkan perubahan proporsi rasio dari alokasi terhadap
alokasi kursi. “Maka untuk itu, kalau saya boleh menyarankan adalah sebaiknya
dilakukan perhitungan ulang dengan menggunakan satu metode, mungkin yang
termudah adalah metode Webster (Daniel Webster),” saran Didi.
Didi memaparkan berbagai metode yang pernah digagas
oleh matematikawan pemilu, yaitu Daniel Webster, Andre Sainte Lague, Horst
Friedrich Niemeyer, Thomas Hare, Victor D’Hondt, Thomas Jefferson. Untuk
mengetahui metode suatu metode disebut bagus, perlu dilakukan pengukuran
proporsionalitas yang meliputi tiga hal. Pertama, membandingkan proporsi
populasi dengan rasio alokasi. Kemudian rasio alokasi dengan rasio populasi. “Mungkin
istilahnya sama tetapi sebetulnya berbeda,” terangnya.
Kedua, pengkuran mengenai keterlebihan keterwakilan (over-represented).
Ketiga, kestabilan atau keadilan metode alokasi. Dalam kestabilan atau keadilan
ini diukur pemindahan kursi dari suatu daerah ke daerah lainnya.
Misalnya untuk pulau Sumatera terjadi over-represented
di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Bangka
Belitung, dan yang mengalami kekuarangan perwakilan adalah Riau, Kepulauan
Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Untuk Jawa, hampir seluruh Jawa mengalami
kekurangan kecuali Jawa Tengah yang mengalami kelebihan keterwakilan. Sementara
kekurangan keterwakilan terbesar adalah Jawa Barat. “Nah, dari sini kita bisa
lihat bagaimana sebetulnya kalau metode alokasi ini diterapkan pada sistem
pemilu kita, bagaimana bentuk penyimpangannya,” dalil Didi.
Untuk diketahui, uji materi UU Pileg ini diajukan
oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Perkumpulan
Indonesia Parliamentary Center (IPC). Pasal 22 ayat (4) menyatakan: “Penentuan
daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah
pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2).” Kemudian,
Lampiran UU Pileg terdapat tabel yang member informasi mengenai Pembagian
Daerah Pemilihan anggota DPR RI.
Menurut para pemohon, lampiran yang ditetapkan dalam
UU Pileg tidak menggunakan metode penghitungan dan penetapan yang jelas.
Lampiran tersebut merupakan lampiran yang sama dalam UU Nomor 10 Tahun 2008.
Sedangkan dalam pemilihan dan pengalokasian kursi DPR dalam Pemilu 2009, tidak
menggunakan prinsp kesetaraan secara konsisten sehingga beberapa provinsi
mengalami over-represented dan beberapa provinsi lainnya mengalami under-represented.
Pengalokasian kursi DPR ke provinsi dan Dapil dalam Pemilu 2009 yang
mengabaikan prinsip kesetaraan dan tidak menggunakan metode yang jelas, mengakibatkan beberapa provinsi
mengalami over-represented (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya)
dan beberapa provinsi lainnya mengalami under-represented (jumlah kursi
kurang dari yang seharusnya). (Nur Rosihin Ana).
0 komentar:
Posting Komentar